Jumat, 18 Juli 2008

Artalyta dan Urip Susun Skenario

Percakapan Diduga dari Tahanan 


KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images 
Jaksa Urip Tri Gunawan, yang didakwa menerima suap sebesar 660.000 dollar AS, Kamis (17/7), menunggu dimulainya sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Artalyta Suryani yang menjadi terdakwa karena didakwa memberikan suap menjadi salah satu saksi dalam sidang tersebut. 


Jumat, 18 Juli 2008 | 03:00 WIB 
JAKARTA, KOMPAS - Artalyta Suryani, terdakwa kasus penyuapan kepada jaksa Urip Tri Gunawan, meski berada di ruang tahanan, ternyata masih berkomunikasi dengan Urip. Mereka dalam percakapan melalui telepon menyusun skenario menghadapi persidangan kasusnya.

Percakapan antara Urip dan Artalyta, yang disadap dan direkam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (17/7), diperdengarkan dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam sidang dengan terdakwa Urip Tri Gunawan itu Artalyta diperiksa sebagai saksi.

Artalyta, yang juga berstatus terdakwa, berada di tahanan Mabes Polri. Urip di tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Secara terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri membantah bahwa tahanan, termasuk Artalyta, di Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri bisa menggunakan telepon seluler. Bantahan disampaikan mantan Kepala Rutan Bareskrim Agus Minta Basuki pula. Agus menegaskan, saat ia masih bertugas, pada 10 Juni 2008, tak ada tahanan, termasuk Artalyta, yang membawa telepon seluler.

Urip diminta konsisten
Bahkan, dari dalam tahanan, pada 10 Juni 2008 pukul 21.00, selama empat menit, Artalyta alias Ayin menelepon Urip. Ia juga mengarahkan keterangan yang akan disampaikan Urip jika dimintai keterangan di pengadilan. Artalyta meminta Urip tetap konsisten dengan keterangan tentang proposal permohonan dana untuk perbengkelan.

Rekaman percakapan itu, yang diakui Artalyta sebagai suaranya, memakai sejumlah istilah sandi. Berikut sebagian rekaman itu.

Ayin (A): Halo… Pak Guru

Urip (U): Iya… Ibu Guru.

A: Intinya besok tetap konsisten pada semula itu. Pokoknya perbengkelan itu kan ada. Sudah kan ininya, apa namanya...?

U: Sudah saya kasihkan itu...

A: Bukan, ininya, proposal bengkelnya.

U: Ya...

A: Jadi semua itu, bengkel kan juga logis itu. Saya bilang itu kan dulu ada tanah di situ. Saya minta inilah, tetapi nanti ditanyain bagaimana saudara terdakwa keterangannya. Nanti saya bilang udah cukup. Begitu ceritanya....

U: Eehhhhh eeeeh

A: Anda kan dalam sidang lima rektor itu. Trus yang lima rektor itu Anda kan menghadap dia, yang paling kiri. Itu Pasti, dia ngulitin. Biasa, dia pasti yang namanya ujian gitu dia pasti keras ininya (pernyataan ini membuat pengunjung tertawa). Urip ngerti hukum. Iya kan. Pokoknya sesuai ini aja. Anda tunjukan bahwa saya ini ya begini. Pasal ini tidak boleh boleh men-judgement orang.

A: Terus kalau masalah surat, ungkapan itu, terserah Anda mau membuatnya bagaimana. Yang paling penting intinya begitu....

U: Iya

A: Paham kan?

U: Iya, saya masih inget semuanya....

A: Ndak, semula saya kan konsultasi, karena…. Eeh, ini >small 2small 0newarea 1
Urip, kata Artalyta, ingin berbisnis perbengkelan. (son/sf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar