KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO / Kompas Images
Siswa baru SMA Negeri 5 Bandung, di Jalan Belitung, Kota Bandung, Jawa Barat, mengawali tahun ajaran baru dengan mengikuti kegiatan pengenalan lingkungan sekolah, Senin (14/7). Kegiatan perpeloncoan tidak dilaksanakan di sekolah tersebut dan digantikan oleh berbagai kegiatan pengenalan sekolah yang memberikan rasa nyaman dan menimbulkan semangat belajar bagi siswa baru.
Siswa baru SMA Negeri 5 Bandung, di Jalan Belitung, Kota Bandung, Jawa Barat, mengawali tahun ajaran baru dengan mengikuti kegiatan pengenalan lingkungan sekolah, Senin (14/7). Kegiatan perpeloncoan tidak dilaksanakan di sekolah tersebut dan digantikan oleh berbagai kegiatan pengenalan sekolah yang memberikan rasa nyaman dan menimbulkan semangat belajar bagi siswa baru.
Jakarta, kompas - Hari pertama sekolah, Senin (14/7), siswa dan orangtua dikejutkan dengan biaya pembelian buku pelajaran yang sangat memberatkan. Biaya yang harus dikeluarkan di beberapa sekolah mencapai Rp 1 juta per semester.
Program buku digital yang dicanangkan pemerintah dengan maksud menekan harga buku kenyataannya belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Selain sulit diunduh dari internet, hampir tidak ada sekolah yang menggunakan buku digital itu. Bahkan, banyak kepala sekolah dan guru yang belum mengetahui adanya buku digital itu.
Di sebuah sekolah menengah di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, misalnya, pada hari pertama masuk sekolah, kertas fotokopi berisi judul buku, penerbit, dan harga buku yang akan dipakai siswa kelas III SMA jurusan IPA tersebut dibagikan kepada siswa.
”Ada 14 buku yang mesti dibeli. Harga semua buku yang dijual di sekolah hampir Rp 1 juta. Siswa yang mau beli pesan ke bagian Tata Usaha,” kata seorang siswa.
Buku-buku teks yang dipakai di sekolah tersebut merupakan keluaran dari penerbit buku ternama yang umum dipakai di sekolah. Tidak ada satu buku pun yang direkomendasikan dari buku digital yang disediakan pemerintah di situs web Depdiknas.
Ny Ellis, warga Ciledug, Kota Tangerang, harus menyediakan sekitar Rp 600.000 pada semester ini untuk biaya buku pelajaran putranya, siswa kelas II sebuah SMA negeri di kawasan Gambir, Jakarta Pusat.
Di Bandung, siswa kelas II SMA negeri disodori daftar buku berikut penerbit dan harga masing-masing buku yang jumlah keseluruhannya mencapai Rp 418.000. ”Tidak bisa dicicil karena tahun ajaran baru sudah dimulai,” ujar orangtua murid.
Di Bekasi, selain dikenai uang masuk sebesar Rp 1,5 juta dan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) Rp 150.000 per bulan, siswa baru juga harus segera membeli buku yang harganya di atas Rp 420.000 untuk satu semester.
Di Palembang, Sumatera Selatan, orangtua murid juga mengeluh karena selain harus membayar Rp 4 juta untuk uang gedung, sumbangan pengembangan pendidikan, uang seragam dan orientasi sekolah, anaknya harus membeli buku pelajaran yang harganya mencapai lebih dari Rp 350.000 per semester.
Belum dikenal
Untuk menekan harga buku, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebenarnya sudah menyiapkan buku digital sebanyak 49 judul di internet. Namun, masih banyak guru dan kepala sekolah yang tidak mengetahui program tersebut.
Seandainya buku teks pelajaran yang dipakai sekolah memanfaatkan buku digital yang telah dibeli hak ciptanya, satu buku teks sesuai harga eceren tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah seharga Rp 20.000. Biaya pembelian buku yang dikeluarkan masyarakat jauh lebih rendah, bisa mencapai 25 persen dari pengeluaran saat ini.
Namun, keberadaan buku teks yang dibeli hak ciptanya oleh pemerintah dan diunggah (upload) di http://bse.depdiknas.go.id, www.depdiknas.go.id, www.pusbuk.or.id, dan www. sibi.or.id masih belum dapat diunduh dengan cepat. Jika mencetak sendiri, biayanya justru lebih mahal.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD-SMA, soal buku teks pelajaran ini termasuk prasarana yang wajib disediakan sekolah sebagai syarat telah memenuhi salah satu standar nasional pendidikan.
Pengadaan buku teks pelajaran yang ditetapkan satu eksemplar per mata pelajaran untuk setiap peserta didik itu merupakan bagian dari perpustakaan sekolah.
Tanggung jawab daerah
Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, mengatakan, kondisi riil anggaran yang tersedia di Depdiknas saat ini belum dapat membebaskan biaya pendidikan untuk seluruh komponen, termasuk buku pelajaran. ”Untuk pungutan-pungutan yang banyak dilakukan sekolah yang dinilai memberatkan masyarakat, yang harusnya menindak tegas itu, ya bupati atau wali kota. Mereka itu yang punya sekolah, bisa membuat aturan di daerah untuk melarang pungutan yang tidak ada dasarnya,” ujar Suyanto.
Menurut dia, pemerintah daerah juga perlu memperbesar anggaran pendidikan sehingga biaya operasional sekolah semakin ringan dan tidak membebani masyarakat.
Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, berdasarkan penelitian ICW sejak tahun 2003 hingga 2007 di sekitar 10 kota di Pulau Jawa dan luar Jawa, tren biaya pendidikan yang ditanggung orangtua cenderung meningkat. Orangtua masih menanggung sekitar 80 biaya pendidikan. ”Peran negara masih kurang dan cenderung memburuk,” ujarnya.
Wakil Education Forum Yanti Sriyulianti mengatakan, kebijakan buku elektronik itu sebetulnya dapat sangat membantu jika infrastruktur telah memadai. Persoalannya, infrastruktur jaringan teknologi informasi dan kepemilikan komputer masih terbatas. Biaya akses internet juga masih terbilang mahal. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang terintegrasi untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.
Terkait biaya pendidikan yang meningkat, menurut Yanti, itu mencerminkan berubahnya fungsi negara dari pelayan publik menjadi ”pedagang”. Pendidikan merupakan hak dasar yang melandasi pemenuhan hak-hak lainnya. ”Dengan pendidikan, warga negara dapat mengembangkan hak asasi lain dan mendapatkannya,” kata Yanti. (ELN/INE/ONI/THY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar