Jumat, 25 Juli 2008

Mengapa Harus SNMPTN?

Oleh H. SUTARMAN

Tiga puluh tahun Indonesia berpengalaman dalam sistem penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri yang dilakukan secara terpadu, dimulai tahun 1977 dengan nama Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU), meliputi Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Airlangga. Mulai tahun 1978, SKALU diperluas cakupan integrasinya tidak hanya lima PTN, sistem ini disebut Proyek Perintis hingga 1983, dan mulai 1984 berganti nama menjadi Sipenmaru sampai tahun 1988, pergantian nama ini terus berlangsung dan mulai tahun 1989 hingga 2001 berubah nama menjadi UMPTN.

Melalui SK Mendiknas No. 173 Tahun 2001, berubah lagi menjadi SPMB dan bertahan dari 2002 hingga tahun 2007. Dengan terintegrasinya sistem penerimaan mahasiswa ini, calon mahasiswa sangat terbantu karena jika berminat masuk ke PTN tertentu dan berjarak jauh dari tempat tinggalnya, mereka tidak perlu datang ke PTN tujuan, tetapi cukup daftar di PTN terdekat yang difasilitasi oleh Panitia Ujian Masuk Lokal (PUML).

Kinerja sistem penerimaan mahasiswa ini telah mampu menghasilkan sumber daya insani yang baik dan banyak berperan dalam mengisi pembangunan bangsa di berbagai sektor.

Eksodus? 
Bulan Maret 2008 terbersit berita yang cukup mencengangkan tatkala 41 PTN melakukan aksi "unjuk gigi" dan dengan tegas keluar dari Perhimpunan SPMB. Mereka bertekad menyelenggarakan seleksi masing-masing. Aksi tersebut sebagai respons terhadap Kepmen Keuangan No.115 Tahun 1991 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada PTN, yang menyatakan bahwa dana pendaftaran dari calon mahasiswa baru dinyatakan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetor ke kas negara yang selama ini tidak pernah disetor. Alasannya, sebagai organisasi swasta cukup dipertanggungjawabkan pada pemegang saham. Masalahnya, para pengurus terdiri dari PNS, secara normatif sudah melanggar regulasi, demikian kata Irjen Depdiknas pada sebuah event yang dihadiri sejumlah rektor.

Sontak para rektor bereaksi, karena mungkin mereka beranggapan bahwa PTN akan sangat mungkin menjadi sasaran bidik BPK atau KPK. Keberatan mereka direfleksikan dengan melakukan eksodus keluar dari perhimpunan SPMB.

Mungkin terdapat dua persepsi publik alasan eksodusnya mereka dari Perhimpunan SPMB, antara lain mereka ingin menunjukkan ke publik bahwa 41 PTN tersebut merupakan universitas yang patuh terhadap aturan (compliance to regulation) dan merupakan aksi ketakutan terhadap keterpaksaan melanggar aturan.

Aksi 41 PTN tersebut mengundang perhatian DPR. DPR khawatir jika aksi tersebut terealisasi, akan menyulitkan calon mahasiswa baru dalam melakukan pendaftaran. Atas kejadian tersebut, serta-merta Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas bereaksi dan mencari solusi. Hasilnya, disepakati nama baru yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Dengan sistem ini, tidak ada perbedaan dalam hal substansi seleksinya. Yang berbeda adalah dana pendaftaran mahasiswa baru akan disetor ke kas negara. 

Kuota
Sehubungan penerimaan mahasiswa baru PTN yang dilakukan secara masing-masing sudah telanjur dilakukan dengan jumlah mahasiswa baru yang diterima sangat banyak, dan biaya masuk yang tidak kecil, maka PTN telah meraup dana yang sangat besar karena mereka memungut biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah. Hal ini tidak mungkin jika melalui seleksi secara terintegrasi.

Dampak dari penerimaan jumlah mahasiswa baru secara mandiri yang sangat banyak, kuota yang tersisa melalui jalur SNMPTN menjadi sangat sedikit. Daya tampung SNMPTN dari sepuluh PTN di wilayah barat, tengah, dan timur sebagai sampel diperoleh data seperti dalam tabel.

Jika kita simak secara nalar, betapa mereka berpesta pora dalam meraup calon mahasiswa baru dengan jumlah tinggi dan biaya ekstra pula, menjadikan PTN menjadi kaya raya. Padahal, PTN sudah menikmati lezatnya kue APBN, sedangkan perguruan tinggi swasta, yang katanya juga telah berperan serta dalam mencerdaskan bangsa, harus gigit jari dan terampas hak hidupnya, seakan tak memiliki masa depan. Terbukti PTS di Kopertis Wilayah IV Jabar & Banten telah banyak yang harus "gulung tikar".

Selama tiga dekade terakhir, PTS telah mengalami pembinaan intensif dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang diperankan oleh Kopertis dengan mengemban fungsi pengawasan, pengendalian, dan pembinaan (Wasdalbin), dan hasilnya sangat memuaskan. 

Adapun hasil dari proses Wasdalbin tersebut telah membuahkan: (1) jumlah dan mutu dosen yang baik dan sesuai dengan normatif; (2) ketertiban sistem administrasi akademik; (3) keteraturan penelitian dan pengabdian pada masyarakat; (4) adanya sistem penjaminan mutu; (5) ditunjang dengan kelengkapan infrastruktur yang memadai sehingga pelayanan kepada pihak-pihak pemangku kepentingan telah mengalami kemajuan pesat. Hasil pembinaan yang lebih atraktif ternyata peringkat akreditasi program studi di PTS bisa menyamai bahkan melebihi PTN. 

Kemajuan yang dialami PTS pasti melalui proses pengorbanan daya, dana, dan waktu yang tidak kecil. Pengorbanan tersebut hanya bisa kembali tatkala ada sumber penerimaan yang teratur dan terukur, dan sumber penerimaan tersebut berasal dari mahasiswa. Namun, karena penyerapan mahasiswa baru yang dilakukan PTN sangat besar, tak pelak lagi risiko terhentinya pengabdian PTS terhadap bangsa ini tak bisa ditahan lagi.

Keadilan
Sehubungan daya tampung jalur SNMPTN sangat sedikit, sebagai akibat mayoritas sudah terpenuhi dari non-SNMPTN, jumlah calon mahasiswa yang hanya mengandalkan kecerdasan dan menghindari kewajiban bayar yang sangat tinggi menjadi minoritas. Dengan demikian, kebanyakan mahasiswa PTN adalah anak orang-orang kaya, padahal mereka mendapatkan subsidi dari APBN. Adilkah jika subsisdi ini diberikan kepada masyarakat strata ini? 

Keadilan tidak akan bisa datang dengan sendirinya, tetapi harus berupaya untuk memperolehnya, maka perlu adanya aksi nyata dari pihak pemangku kepentingan, antara lain: (1) pihak Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) harus proaktif membela, melalui upaya lobi dan advokasi sehingga tingkat penerimaan mahasiswa baru PTN bisa direduksi sampai pada tingkat yang wajar; (2) harus ada keadilan regulasi dan perlakuan di Dikti karena perguruan tinggi swasta diperlakukan "serba jangan", sedangkan mitranya perguruan tinggi negeri "serba boleh", dan Dikti dibuat tak berdaya.

Keadilan ini perlu tercipta secara sistemis karena saat ini PTS sudah terkondisi pada tahap "mempertahankan hidup" agar terhindar dari kematian, sedangkan mitranya sudah pada tahap "mengembangkan hidup", untuk meningkatkan kekayaan. 

Jika SNMPTN hanya mampu mengubah dari semula dana pendaftaran mahasiswa baru dikelola sendiri menjadi disetor ke kas negara, hal tersebut bukan langkah yang luar biasa karena hanya menyadarkan kewajiban. Yang kita harapkan apakah ada sistem penerimaan mahasiswa baru yang diselenggarakan pemerintah yang mampu mengendalikan "libido" untuk menerima mahasiswa sebanyak mungkin.

Deskripsi opini ini tak bermaksud melakukan dikotomi, namun kita berharap agar menjadi bahan kontemplasi bagi PTN bahwa ada pihak lain yang ingin berbakti terhadap bangsa ini. Selain itu, juga sebagai bahan pembelajaran bagi PTS agar bisa lebih meningkatkan daya tahannya dalam menangkis badai seberat apa pun. Tetap sabar dan selamat berjuang.***

Penulis, peneliti sosial dan pemerhati pendidikan tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar