Rabu, 23 Juli 2008

Anarkisme dan Matinya Sepak Bola Sejati


BATU, pecahan beton, dan botol minuman yang dilemparkan "bobotoh" berserakan di lapangan seusai pertandingan Liga Super Indonesia antara Persib dan Persija di Stadion Siliwangi, Bandung, Minggu (20/7) malam. ANDRI GURNITA/"PR"

KEBIASAAN buruk itu kembali berulang. Perilaku destruktif partisan sepak bola atau di tatar Parahyangan lazim disebut bobotoh kembali dipertontonkan pada partai kedua prolog Liga Super Indonesia (LSI) 2008, saat partai yang mempertemukan Persib "Maung Bandung" dengan seteru bebuyutannya, "Macan Kemayoran" Persija di Stadion Siliwangi Bandung, Minggu (20/7). Sebuah ironi memang, sebab sejatinya LSI yang hanya diikuti klub-klub sepak bola yang lolos "akreditasi" saja oleh PSSI itu, diarahkan demi semakin meningkatkan kualitas sepak bola di tanah air.

Kenyataannya, jangankan terjadi akselerasi peningkatan kualitas sepak bola nasional dari berbagai sudut, termasuk perilaku santun dan terhormat para pendukung sebuah tim, yang terjadi malah perilaku "usang", "kuno", dan "kampungan" sekelompok bobotoh tak bertanggung jawab. Apa pun alasannya, tindakan anarkistis dan merusak tak mungkin bisa diterima, termasuk membuat alasan bahwa itu disebabkan kepemimpinan wasit yang tidak adil. 

Dalam sebuah pertandingan olah raga, termasuk sepak bola, kalah atau menang adalah hal biasa. Yang justru paling penting adalah nilai-nilai sportivitas, prinsip fair play, dan profesionalisme semua pihak, baik di dalam maupun luar lapangan.

Anarkisme pendukung sepak bola seakan sudah mendarah daging dalam sistem persepakbolaan nasional. Di tengah masih terengah-engahnya prestasi sepak bola di forum internasional, praktik kekerasan yang mewarnai pertandingan-pertandingan sepak bola domestik, semakin menenggelamkan wajah sepak bola nasional.

Dalam tataran akademis, salah satu teori yang kerap dilekatkan pada fenomena anarkisme oleh penonton sepak bola adalah sepak bola menjadi katarsis dari segenap beban dan tekanan yang dialami massa. Tekanan itu kemudian terakumulasi secara tidak sadar, dan kemudian "meledak" secara kolektif ketika ada peletupnya lewat pertandingan sepak bola atau olah raga.

Teori itu memang bisa berlaku dalam kondisi sosial politik di bawah rezim otoriter. Namun, kini secara politik tak ada lagi kekangan dalam lingkungan sosial keseharian, di saat kebebasan menjadi "kredo" banyak kalangan, kenapa pula praktik kekerasan yang seolah akumulatif itu tetap terjadi.

Mungkin, pendekatan dari aspek hukum sebagaimana kerap disampaikan kriminolog dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Yesmil Anwar, S.H., M.Si. bisa dijadikan rumusan mencari akar dan solusi persoalan. Ada "teori" yang sering dituturkan Yesmil yang semestinya juga dipahami oleh mereka yang bergelut dalam sistem sepak bola nasional. Entah itu pemegang otoritas organisasi sepak bola (PSSI), aparat keamanan, termasuk pelaku aktif di dalamnya: pemain dan penonton.

"Terkadang, bentuk kekerasan yang inheren dalam olah raga mudah sekali ditularkan oleh pemain. Atau sebaliknya, dari penonton menular ke pemain. Ada semacam sirkulasi histeria massa terhadap sesuatu atau dengan bahasa lain keranjingan," ungkapnya.

Hal itu juga didorong oleh stigmatisasi psikologis yang akhirnya dipandang sebagai sesuatu yang taken for granted (niscaya). "Misalnya, dulu ada stigma bukan mahasiswa ITB kalau tidak berdemonstrasi. Atau, bukan bobotoh kalau tidak melakukan keonaran. Ini menjadi semacam pembenaran untuk bertindak anarkistis," katanya.

Faktor lainnya yang bahkan paling mungkin adalah lemahnya hukum untuk mengendalikan akibat-akibat dari situasi yang akhirnya melahirkan kekerasan. "Ini yang terjadi di semua lini. Hukum tidak mampu menjangkau semua kalangan, karena selalu dipraktikkan budaya diskriminasi atau privilege bagi pihak-pihak tertentu untuk tak tersentuh hukum," tuturnya.

Dalam situasi massa berkumpul dalam satu lokasi, selalu muncul kolektivitas yang menghilangkan identitas pribadi. "Orang akhirnya tidak takut karena kolektivitas menghilangkan kekhawatiran itu," tegasnya.

Untuk itu, kunci melawan kekerasan, baik dilakukan oleh pemain maupun penonton adalah ketegasan dalam memberikan sanksi hukum (law enforcement). "Hukum tidak mengenal anonimitas. Oleh karena itu, dalam keributan penonton, polisi harus mampu mencari siapa provokatornya, berikan sanksi tegas, dan jangan diberikan privilege apa pun. Demikian juga kepada pemain, manajer, petinggi klub, serta ofisial pertandingan yang terbukti tidak becus menjalankan tugas, PSSI harus tegas menjatuhkan sanksi tanpa melihat siapa-siapanya tapi kesalahan yang diperbuat," tutur Yesmil Anwar.

Dalam bahasa lain, paradigma dalam olah raga jangan disamakan dengan politik kekuasaan yang cenderung menghalalkan segala cara. Para pelaku sepak bola harus berani menetapkan hati bahwa kemenangan tanpa moral-etika bukanlah merupakan kemenangan sejati. 

Penggunaan kekerasan dalam sepak bola harus dibaca sebagai bentuk penghinaan diri karena merupakan bukti timnya kalah kualits dan tidak kompetitif. Kemenangan haruslah dipersepsi sebagai hasil kerja keras tim, skill individu, plus kolektivitas, dan soliditas tim. 

Kekalahan juga tetap dipandang terhormat, jika itu terjadi setelah berjuang keras penuh sportivitas di atas lapangan. Paradigma itu pula yang harus dipahami oleh pendukung (bobotoh) sepak bola sejati. Bukan bobotoh "kampungan" yang kerjanya tukang bikin onar! (P-03)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar