Senin, 28 Juli 2008

Saekan, Mengubah dan Selamatkan Lingkungan


A Ponco Anggoro

Mendapatkan sejumlah penghargaan sebagai penyelamat lingkungan hidup, tentunya tak pernah tebersit di benak Saekan (59). Bagi dia, apa yang dilakukan selama ini hanyalah untuk bertahan hidup. Tetapi, bukan hanya hidup untuk diri sendiri, melainkan juga bagi para tetangganya.

Pada Juni 2008, pria yang tinggal di Blok Pucang Sawit, Dusun Sempu, Desa Padas, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, ini menerima penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan hidup dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kalpataru itu menambah banyak penghargaan yang pernah dia terima sebelumnya dari Gubernur Jatim Imam Utomo dan Bupati Madiun Djunaedi Mahendra.

Tahun 2007 Saekan menjadi juara terbaik pertama dalam lomba pelestarian fungsi lingkungan hidup Provinsi Jatim kategori penyelamat lingkungan. Ia memperoleh piagam penghargaan Krida Nugraha dari Bupati Madiun untuk ketahanan pangan.

Penghargaan itu diterima Saekan atas kerja keras dan kegigihannya mengubah kondisi Pucang Sawit, suatu kawasan di lereng Gunung Wilis yang hingga 15 tahun lalu termasuk daerah terpencil, sulit diakses, dan terbelakang.

Saekan, pria lulusan sekolah rakyat ini tinggal di Pucang Sawit sejak tahun 1972. Sebelumnya Saekan tinggal di Ngranget, Padas, dan pindah ke Pucang Sawit setelah menikahi gadis setempat, Tarmi.

Kesulitan air
”Kehidupan di daerah ini betul-betul sulit, air bersih tidak ada. Bahkan, karena sulitnya mendapatkan air, setelah menikah saya dan istri sampai tidak mandi selama lima hari. Lalu, tanaman apa pun yang ditanam warga sering kali rusak oleh babi hutan atau kera sehingga untuk mendapatkan makanan kami harus pergi ke pasar yang jaraknya 10 kilometer,” katanya.

Selang satu tahun kemudian pasangan ini dikaruniai seorang anak. Karena kondisi yang sulit itu, Saekan memboyong istri dan anaknya ke Ngranget, tempat tinggalnya semula. ”Masalahnya, kalau lama-lama kami bertahan di Pucang Sawit, kami bisa mati,” tambahnya.

Namun, karena rasa cinta kepada sang istri dan mertuanya, Saekan kembali lagi ke Pucang Sawit tahun 1981. ”Tarmi itu anak tunggal sehingga tanpa dia orangtuanya tidak ada yang merawat.”

Saekan pun mulai berpikir untuk mengubah Pucang Sawit. Dia sadar, dengan kondisi Pucang Sawit seperti itu dia dan keluarga tidak akan bisa bertahan hidup. Keinginan mengubah kondisi itu juga didorong jabatan ketua rukun tetangga (RT) yang diembannya.

Hal pertama yang dia ubah adalah cara warga memperoleh air bersih. Bersama warga dia lalu memasang saluran bambu memanjang dari sumber air sampai ke bak besar di Pucang Sawit. Bambu dipakai untuk mengalirkan air dan menyimpan air di bak sehingga warga tidak perlu berjalan jauh ke sumber air.

Namun, penggunaan bambu itu terkendala banyaknya daun yang masuk ke bambu hingga aliran air tersumbat. Saekan lalu merogoh koceknya sendiri untuk membeli selang. Ia mengganti bambu dengan selang.

Kesulitan mendapatkan air bersih tak lagi dihadapi warga sejak tahun 1995. Mereka bisa memanfaatkan sumber air lain di kampung ini, yakni sumber air Bendo. Itu terwujud setelah Saekan mengumpulkan dana dari warga untuk membeli pipa air. Dengan sambungan pipa itulah air bersih bisa dialirkan dari sumbernya ke rumah-rumah warga.

Menambah penghasilan
Air tak hanya bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, tetapi Saekan juga menggunakan air itu untuk mengairi tanaman kelapa dan durian miliknya. Dia juga membagi bibit tanaman kepada para tetangga. Pada tahun 1987 Saekan juga menanam bibit kakao.

”Saya sampai ke Tulungagung untuk memperoleh bibit kakao. Uang untuk membeli bibit kakao berasal dari kumpulan uang warga sejak tahun 1981,” ujarnya. Penanaman kakao di kawasan itu semakin banyak setelah pemerintah memberi bantuan bibit dan pupuk tahun 1991.

Dana warga dikumpulkan melalui semacam arisan, sebesar Rp 1.000 dan beras 1 kilogram per keluarga setiap bulan. Uang yang terkumpul digunakan sebagai modal kas simpan-pinjam dengan bunga 10 persen per bulan.

”Berkat kerja sama semua warga, tanaman kami bisa tumbuh subur, tidak rusak oleh babi hutan atau kera. Sekarang binatang itu tidak terlihat lagi di daerah kami,” kata Saekan.

Tak puas hanya mendapat penghasilan dari berbagai jenis tanaman, Saekan berpikir menambah penghasilan warga dengan usaha ternak. Dari uang kas perkumpulan, dia membeli kambing untuk masing-masing keluarga. Setelah kambing semakin banyak, hewan itu dijual dan dibelikan sapi yang harga jualnya lebih tinggi.

Sayang, akses jalan ke Pucang Sawit begitu tak memadai, dan ini menyulitkan pemasaran produk dari kampung tersebut. Tak putus asa, Saekan lalu merintis perbaikan jalan menuju kampungnya. Dia tak berjalan sendiri karena dana perbaikan jalan pun diperoleh dari sumbangan warga. Hasilnya? Jalan yang sebelumnya berupa tanah dan selalu becek saat musim hujan, berubah menjadi jalanan berbatu yang bisa dilewati saat hujan sekalipun.

Dengan perubahan-perubahan itu, Pucang Sawit yang ditinggali 14 keluarga itu tak lagi terpencil. Roda perekonomian warga pun membaik. Rumah mereka yang sebelumnya beratap alang-alang dengan dinding bambu, berganti dengan atap genteng, lantai keramik, dan dinding tembok batu bata.

Meski sejumlah penghargaan telah menjadi penghias hidupnya, Saekan tetap berusaha menjadi penyelamat lingkungan. ”Target saya bukan penghargaan. Lha, kalau lingkungan mati, itu artinya kehidupan kami mati juga,” ujarnya serius.

Menjaga Tanaman
Setelah Saekan ”bergerak”, kawasan Pucang Sawit berubah. Daerah yang sebelumnya didominasi tanaman ketela pohon, semakin bervariasi dengan tanaman produksi seperti kakao, kelapa, durian, dan cengkeh. Hasil penjualan komoditas pertanian itu membuat penghasilan warga pun naik dibanding yang diperoleh pada 1970-an.

Saekan menyadari, tumbuh suburnya tanaman itu bergantung pada kondisi alamnya. Maka, ia serius menjaga kelestarian hutan di daerahnya. Ia juga tak bosan memberitahu warga tentang pentingnya menjaga hutan agar longsor tak terjadi dan sumber air terjamin.

Di areal yang dekat sumber air, ia tanami pohon kluwak yang berakar panjang dan berdaun lebar. Ia juga ikut menjaga hutan dari pencurian atau kebakaran. ”Setiap kali kebakaran, saya dan warga langsung ke lokasi ikut memadamkan api,” ujarnya.

Tahun 2005, ia merintis pengelolaan tanah di bawah tegakan pohon pinus di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Lawu. Setelah ada izin dari KPH, warga lalu menanami lahan itu dengan berbagai tanaman, seperti kakao, pete, dan durian.

”Konsekuensinya, warga harus menjaga pohon di tempat tanamannya itu. Ini membuat warga di pinggir hutan tak lagi mencuri kayu karena mereka mendapat penghasilan dari tanaman tersebut. Kalau sampai ada pohon yang rusak, warga tidak boleh lagi menanam di bawah tegakan,” tegas Saekan. (APA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar