KESENIAN kuda lumping ditampilkan pada seni helaran "Ujungberung Festival 2008" yang digelar Badan Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat Kota (BKPMK), awal Juli lalu. Seiring dengan perkembangan zaman, seni helaran telah mengalami proses transformasi tafsir yang merujuk pada kebutuhan pasar, dengan cara mengembangkan bentuk seni kemas.* KRISHNA AHADIYAT
SENI helaran atau arak-arakan bagi masyarakat Jawa Barat (Sunda), terutama yang tinggal di daerah pegunungan maupun dataran yang mayoritas bercocok tanam, adalah suatu pengungkapan rasa hormat dan syukur atas karunia Sang Pencipta. Jalanan menjadi area pertunjukan yang menampilkan iring-iringan pesta rakyat atau pesta persembahan rasa syukur dari satu tempat ke tempat lain.
Dalam pengungkapannya, di sejumlah daerah di Jawa Barat, seni helaran diperlihatkan dengan membawa jampana atau dongdang berisikan berbagai hasil bercocok tanam. Biasanya, hasil bumi yang dibawa dan ditata sedemikian rupa dalam jampana berupa dua hingga empat geugeus (ikat) padi, umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, dan makanan khas yang mencirikan daerah bersangkutan.
"Semakin banyak hasil tatanen (bercocok tanam) yang dibawa, semakin menunjukkan tingkat kesejahteraan sebuah daerah," ujar Mas Nanu S. Sen, M.Hum., praktisi seni tradisi yang juga staf pengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung dan ketua juri penilai seni helaran di Ujungberung Festival 2008, yang digelar Badan Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat Kota (BKPMK) awal Juli lalu.
Selain jampana atau dongdang yang berisikan berbagai jenis makanan dan hasil pertanian, seni helaran juga menampilkan kelompok seni tradisi. Misalnya, Kab. Subang menampilkan seni gotong singa (odong-odong), di Cirebon dengan buroknya, Kab. Sumedang dengan kuda Renggong, Kab. Garut dengan surak ibra, Banten (Baduy) dengan dogdog lojor, Kota Bandung (Ujungberung) diiringi seni reak dan lainnya.
**
Sejak dulu, menurut Mas Nanu, seni helaran di sejumlah daerah memiliki kesamaan. Seni helaran merupakan pesta keramaian yang bertumpu pada agama (Sang Pencipta), lewat ungkapan rasa kebersamaan berkesenian (musik), teater, lawakan, hingga menghadirkan makhluk gaib oleh seorang tetua adat (kampung).
Dulu, menurut Mas Nanu, pusat kota ataupun suatu tempat yang disucikan oleh masyarakat, seperti dayeuh atau puseur (ibu kota) dan atau tempat yang dipakai kegiatan (seni helaran) menjadi pusat magis dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup masyarakatnya.
Beberapa hari sebelumnya, isi jampana dipersiapkan di salah seorang tetua kampung. Pada hari yang telah ditentukan, sejak pagi iring-iringan dari setiap pelosok kampung berkumpul dan membawa jampana masing-masing menuju desa, kemudian melakukan arak-arakan ke kota kecamatan. Seterusnya, rombongan berangkat ke kabupaten dan iring-iringan berkumpul di alun-alun di depan kantor bupati.
Aneka hasil bumi, hasil kerajinan, kamonesan (kreasi), aneka kesenian, kemudian dipintonkeun di sepanjang jalan yang dilalui. Para pengusungnya pun memperlihatkan kemampuan atraksi seni.
Tanpa pamrih atau berharap mendapatkan suatu imbalan materi, peserta helaran rela mengusung jampana menyusuri jalanan menuju suatu tempat yang ditentukan. "Mereka hanya ingin menunjukkan pada khalayak maupun pimpinan mereka bahwa daerahnya subur makmur," ujar Mas Nanu.
Semisal dalam acara seren taun, wuku taun, tepung taun, dan acara-acara yang berhubungan dengan mengawali dan menutup tahun, benda yang dibawa merupakan hasil bumi (pertanian). Hal ini ditujukkan sebagai ungkapan dan harapan masyarakat akan hasil bumi yang lebih baik.
Sementara itu seni helaran dalam acara yang berhubungan dengan kepercayaan ataupun agama, semisal Muludan (maulid Nabi Muhammad saw), Grebeg Syawal, Bulan Suro, dan lainnya, biasanya jampana berisikan makanan.
Hal itu biasanya dikaitkan dengan kebiasaan pimpinan (raja) maupun para orang tua terdahulu dalam memperingati hari besar agama dengan memperbanyak dalam memberi sedekah pada fakir miskin atau masyarakat kurang mampu.
"Di sejumlah daerah dengan latar belakang kerajaan (kasunanan, kasepuhan, ataupun kesultanan) jampana biasanya berbentuk gugunungan dari tumpeng, kue-kue basah maupun hahampangan (tantang angin) yang terbuat dari tepung beras," ujar Mas Nanu.
**
Namun, sejalan dengan kondisi saat ini dan kepentingan lain, terutama di daerah perkotaan, seni helaran menjadi komoditas seni jalanan dan menjadi tontonan. Bahkan, untuk kepentingan pariwisata, seni helaran telah mengalami proses transformasi tafsir yang merujuk pada kebutuhan pasar, dengan cara mengembangkan bentuk seni kemas (package art).
Karena pergeseran ini pula, maka lahirlah berbagai bentuk kemasan yang menunjukkan kemampuan para pengemasnya. Demikian pula halnya dengan benda atau barang yang dibawa dan disusun dalam jampana.
Seperti halnya dalam Ujungberung Festival, jampana yang dibawa memang berisikan ikatan padi, umbi-umbian dan buah-buahan. Tetapi itu hanya sebagian kecil. Sementara makanan dan minuman kemasan lebih mewarnai isi jampana yang ditata alakadarnya.
Demikian pula halnya dengan kegiatan serupa di sejumlah daerah, seakan tidak lagi menunjukkan seni helaran sebagai bagian dari ungkapan rasa syukur pada Sang Pencipta yang dilandasi ketulusan hati. Namun, menjadikan seni helaran sebagai bagian dari perayaan untuk menciptakan suatu tontonan dan keramaian.
Salah seorang pengamat budaya yang juga seniman teater dan penulis lakon, Arthur S. Nalan, mengatakan, "Kita telah mewarisinya. Namun, apakah kita hanya sebagai pewaris pasif atau pewaris aktif? Kalau kita mau menjadi pewaris aktif, maka harus dirumuskan seni helaran atau theatre of the road yang bagaimana yang akan dijalankan sebagai konsep pertunjukan yang menarik, atraktif, tanpa meninggalkan akar ketradisiannya. Dengan demikian seni helaran bisa menjadi penanda sekaligus ikon Kota Bandung sebagai kota seni budaya. (Retno HY/"PR")***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar