Membebani Orangtua Siswa
Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta untuk serius mengevaluasi pengadaan buku teks dan lembar kerja siswa yang membebani masyarakat. Kebutuhan bahan ajar untuk meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah yang menjadi tanggung jawab pemerintah terlihat semakin diserahkan kepada masyarakat.
S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (29/7), mengatakan, adanya lembar kerja siswa (LKS) dan buku teks yang awalnya bertujuan baik semakin terlihat tumpang-tindih. Apalagi pengadaan buku teks dan LKS cenderung dipaksakan untuk dipenuhi oleh siswa sendiri.
”Coba lihat, pengadaan LKS terpisah dari buku teks. Persoalannya, ini menjadi biaya tinggi buat masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Kenapa tidak, LKS itu menjadi satu paket pembelian dengan buku teks, cuma lembarnya terpisah. Tidak seperti sekarang, siswa beli buku teks dan juga LKS. Maksud baik untuk bisa membuat siswa semakin paham dengan pelajaran, malah justru membebani,” ujar Hamid.
Berumur setahun
Dari pantauan Kompas, buku- buku teks yang beredar di sekolah hanya memungkinkan berumur satu tahun. Ini disebabkan pada buku teks terdapat soal-soal yang jawabannya harus diisi pada buku tersebut. Dengan demikian, buku yang sudah diisi banyak coretan tersebut tidak mungkin bisa dimanfaatkan oleh adik kelasnya.
Di sisi lain, siswa dibebani kewajiban membeli LKS untuk setiap mata pelajaran. Akibatnya, siswa harus mau merogoh biaya pembelian buku penunjang pelajaran lebih banyak lagi.
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Fawzia Aswin Hadis, mengatakan bahwa penilaian buku teks yang dilakukan BSNP sebenarnya memungkinkan pemakaian setiap buku itu berlaku selama lima tahun. Karena itu, BSNP mendorong supaya latihan soal pada buku teks dikerjakan di buku lain.
”Kami pun sebenarnya tidak mendorong adanya LKS. Untuk memperbanyak latihan soal, yang perlu diupayakan itu bagaimana guru mampu berkreativitas untuk membuat bahan ajar dan latihan soal yang tidak kalah dengan apa yang ada di LKS,” kata Fawzia.
Ria (40), salah satu orangtua siswa, mengharapkan kebijakan pendidikan di negara ini tidak memberatkan masyarakat, yang membuat mereka dari kalangan tidak mampu menjadi terhambat mengakses pendidikan berkualitas.
”LKS untuk 12 mata pelajaran, siswa harus membeli Rp 95.000. Ini di luar mata pelajaran,” ujarnya.
Orangtua mau tidak mau mengikuti aturan itu karena kasihan kepada anak. Padahal, lanjut dia, di buku teks sudah ada latihan soal. Guru seharusnya bisa mengembangkan soal lebih banyak lagi secara variatif.
”Jangan tergantung LKS. Ini membuat pendidikan semakin mahal, tetapi mutunya masih dipertanyakan,” tutur Ria. (ELN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar