Peringkat Pebeperkara
Oleh JOS DANIEL PARERA
Jumat, 18 Juli 2008 | 01:36 WIB
Orang yang beperkara saya katakan pebeperkara, sedangkan orang yang memerkarakan saya sebut pemerkara. Nah, orang yang beperkara biasanya mendapat peringkat seperti jabatan dalam kepegawaian negara, militer, dosen, dan jabatan manajemen yang lain pada umumnya. Mereka yang beperkara dengan negara atau pemerintah pun mempunyai peringkat. Bagaimana peringkat mereka yang beperkara atau pebeperkara?
Siapa saja yang berpotensi atau diindikasikan mempunyai perkara dikatakan terindikasi. Jika indikasi keperkaraannya kuat, maka orang itu akan naik peringkat menjadi terduga. Dengan status terduga yang telah diuji, maka status orang itu ditingkatkan menjadi terperiksa. Dalam status terperiksa, seseorang diuji kebenaran atau kesalahannya. Jika seseorang itu telah diuji perbuatan dan perilakunya dan bersalah, maka statusnya dinaikkan menjadi tertuduh. Dengan status tertuduh inilah seseorang berhadapan dengan jaksa penuntut.
Ketika jaksa telah menghadapkan pebeperkara di pengadilan, maka peringkat orang itu naik menjadi terdakwa. Status terdakwa membuka beberapa kesempatan dan kemungkinan, misalnya, dari mahkamah pertama (pengadilan negeri) ke mahkamah tinggi (pengadilan tinggi), dan dari mahkamah tinggi ke mahkamah agung. Status terdakwa bisa lama, bergantung pada hakim, pebeperkara, dan pengacara.
Dengan status terdakwa, perkara yang diajukan bukan lagi diuji kebenaran atau kesalahannya, tetapi perkara itu dibuktikan kebenaran atau kesalahannya. Di depan pengadilan dengan pembuktian yang ditemukan hakim, maka status terdakwa dapat dinaikkan menjadi terhukum, terpidana, terbebas, atau terlepas.
Imbuhan ter- untuk menyatakan ’orang yang di-’ laku di bidang hukum, khususnya dalam hal tuduh-menuduh sampai dengan hukum-menghukum. Malah sekarang muncul bentuk termohon sebagai imbangan pemohon dalam hubungan dengan peninjauan kembali perkara atau permohonan pembatalan undang-undang atau pasal undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.
Sekarang perlu diperiksa dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1999). Pemakai bahasa Indonesia akan terkejut karena makna ter- yang laris di bidang hukum ini tidak terdapat dalam buku tata bahasa itu. Dalam Bab VII dengan judul ”Nomina, Pronomina, dan Numeralia” subbab ’Morfologi dan Semantik Nomina Turunan’ sama sekali tidak disinggung bentuk ter- sebagai pembentuk nomina turunan.
Apakah para penulis Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia teledor atau lupa atau sengaja mengabaikan apa yang hidup dan baku di masyarakat? Ketika buku itu ditulis dan diterbitkan, imbuhan ter- dengan makna ’orang yang di-’ sudah muncul dan dipakai di masyarakat. Tolong para penulis Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia di Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional membaca lagi dan menambahkannya. Atau, menunggu proyek baru?
JOS DANIEL PARERA Munsyi, Tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar