Minggu, 20 Juli 2008

industri pesawat

Farnborough, Qatar, dan Transformasi Ekonomi 


KOMPAS/NINOK LEKSONO / Kompas Images 
New Doha International Airport seluas 22 kilometer persegi sedang dalam pembangunan dan akan siap beroperasi tahun 2010. 


Minggu, 20 Juli 2008 | 03:00 WIB 

Ninok Leksono
Pekan ini, 14-20 Juli 2008, berlangsung pameran kedirgantaraan akbar Farnborough di Inggris. Dalam pameran yang sudah berjalan 60 tahun ini tampil pelbagai karya kedirgantaraan terbaru.

Pesawat superjumbo Airbus A-380 dijadwalkan tampil dalam demo udara harian, mungkin dalam salah satu penerbangannya akan dikawal oleh Tim Aerobatik The Red Arrows yang menggunakan jet latih/tempur Hawk. Pada masa lalu, jet supersonik Concorde sering tampil dengan dikawal tim aerobatik, kalau bukan Tim Panah Merah ya Tim Perancis Patrouille de France menggunakan pesawat Alpha Jet.

Di bidang pesawat tempur, tuan rumah masih tetap mengunggulkan jet tempur Eurofighter Typhoon yang kini sudah masuk di jajaran Royal Air Force. AS yang selama dua dekade mengunggulkan F-16 di pasar internasional kini melangkah ke era baru. Meski tak didaratkan, kehadiran jet tempur ultramodern F-22 Raptor yang dijadwalkan terbang lintas di udara Farnborough jelas merupakan satu tonggak penting bagi pameran yang diselenggarakan Society of British Aerospace Companies (SBAC) dan setara dengan pameran Le Bourget, Paris, ini (Time, 21/7).

Dalam airshow, selain pesawat-pesawat tempur yang biasanya masih sebatas dipamerkan, juga digelar pesawat komersial, yang hampir pasti selalu dipasarkan. Dan, mengikuti tahun-tahun sebelum ini, pembuat jet besar Eropa, Airbus, kembali ”bentrok” dengan raksasa Amerika, Boeing, untuk memperebutkan pembeli potensial.

Di Farnborough tahun ini, salah satu maskapai penerbangan yang diincar kedua seteru ini adalah Qatar Airways. Qatar dan maskapai Timur Tengah lain seperti Etihad memang dinilai sebagai penyemarak Farnborough tahun ini karena maskapai Eropa dan Amerika tampak justru menahan diri dari pembelian pesawat baru karena sedang berjuang menanggulangi dampak meroketnya harga minyak dan menyusutnya jumlah penumpang (AP/Jakarta Post, 16/7).

Di pihak lain, maskapai Timteng yang kecipratan rezeki minyak justru mencari-cari lahan investasi baru di luar minyak.

Arah baru
Perkembangan dunia akhir-akhir ini memang lalu membagi negara-negara dalam dua kubu: mereka yang dirugikan oleh membubungnya harga minyak dan mereka yang diuntungkan. Dalam hal ini, Indonesia termasuk golongan pertama, sementara negara-negara Timteng, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar, semakin kaya dan banjir rezeki (windfall profit).

Bersama Oman, Bahrain, dan Kuwait, ekspor minyak Arab Saudi, Qatar, dan UEA tahun 2007 mencapai 381 miliar dollar AS. Ketika harga minyak 100 dollar AS per barrel, keenam negara yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC) memperoleh 9 triliun dollar AS pada tahun 2020. (Kompas, 21/5/2008). Padahal, sekarang ini saja harga minyak sudah berkisar 140 dollar AS per barrel.

Jadi tidak heran mereka kebanjiran rezeki minyak berlimpah ruah. Adanya rezeki luar biasa besar ini bisa saja membuat orang lupa diri. Pada masa lalu memang ada cerita penghamburan rezeki minyak oleh negara-negara Arab, apakah itu untuk pembelian senjata atau untuk mengubah gaya hidup para bangsawan yang sepenuhnya mengontrol rezeki tersebut.

Namun, kini ada kearifan baru bahwa rezeki yang mengalir dari minyak seyogianya dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas hidup bangsa dan, yang tidak kalah penting, dana melimpah tersebut diinvestasikan di bidang-bidang produktif.

Pengalaman Qatar
Mengunjungi Qatar sekarang ini, orang bisa menyaksikan sektor konstruksi mengalami boom luar biasa. Ibu kota Doha sudah dipenuhi bangunan modern dan dalam beberapa tahun lagi ia akan menjadi kota yang ultramodern. Kalau ada yang mengatakan Qatar berasal dari bahasa Arab, qatura, yang berarti ”memancarkan” (kepercayaan diri, atau sikap manis), boleh jadi itu ingin diwujudkan secara fisik. Menara Aspire yang dibangun guna menyongsong Asian Games XV tahun silam adalah salah satu contoh.

Kepercayaan diri tersebut memancar karena didukung oleh cadangan minyak dan gas yang amat kaya. Ada yang mengatakan, Qatar—dengan cadangan gas mencapai ratusan triliun kaki kubik—adalah Arab Saudi untuk gas. Qatura yang diduga menjadi asal-usul kata Qatar sendiri sering dikaitkan dengan qatran, yang berarti ”tar” atau ”resin”, terkait dengan besarnya kekayaan minyak dan gas alam di negara ini.

Kini, negara dengan penduduk hanya sekitar 1,3 juta orang dan menurut IMF merupakan negara dengan GDP per kapita paling tinggi di dunia (sekitar 71.000 dollar AS) itu mungkin malah harus berpikir keras untuk menginvestasikan kekayaannya. Dalam kaitannya dengan Indonesia, investasi Qatar pun mengalir dengan pembelian 40,8 persen saham Indosat oleh Qtel (Qatar Telecom) senilai 1,8 miliar dollar AS.

Selain investasi di bidang telekomunikasi, bidang lain yang sedang digarap serius oleh Qatar adalah industri pariwisata. Qatar tentu saja berlomba dengan UEA di berbagai bidang, tetapi turisme melalui penerbangan tetap ingin dijadikan unggulan.

Kini maskapai penerbangan Qatar Airways sudah punya armada berkekuatan 62 pesawat, tetapi jumlah itu akan berkembang pesat dengan akan datangnya lima pesawat superjumbo A-380 yang akan mulai dioperasikan tahun 2012. Pesanan lain mencakup 60 jet Airbus terbaru A-350 dan 30 Boeing 787-8 dengan opsi 30 lagi. Belum lagi pesanan untuk pengiriman lebih dekat seperti Boeing 777.

Pesanan sekitar 200 pesawat baru dengan nilai lebih dari 30 miliar dollar AS dalam beberapa tahun mendatang ini tak lepas dari peran CEO Qatar Airways Akbar Al Baker, yang selain memimpikan negaranya maju dalam industri penerbangan juga ingin mendiversifikasikan perekonomian dari sekadar migas.

Keseriusan Al Baker menggarap industri penerbangan dan turisme menghasilkan penghargaan peringkat bintang lima untuk layanan dan keunggulan dari Skytrax, badan pemantauan industri penerbangan independen.

CEO maskapai dengan 82 destinasi ini kini juga memimpin pembangunan proyek New Doha International Airport yang dijadwalkan siap tahun 2010. Bandara yang ada sekarang dianggap tidak akan mampu menampung Qatar Airways yang tumbuh dengan laju 35 persen per tahun selama 10 tahun terakhir.

Dari pengalaman Qatar dan Qatar Airways ini tampak bahwa sejumlah negara di Timteng kini tengah dalam proses mentransformasikan perekonomian, dari semata bergantung pada migas ke turisme dan industri teknologi maju.

Sebagian orang masih ingin melihat apakah lingkungan yang ada, termasuk dari sisi kultural, telah sanggup memenuhi persyaratan industri dan teknologi modern yang menuntut efisiensi dalam semua hal. Namun, adanya sosok seperti Akbar Al Baker yang sukses membangun Qatar Airways membuktikan negara Timteng siap untuk bergerak mendiversifikasikan perekonomiannya.

Dalam hal ini, Farnborough bisa menjadi salah satu saksinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar