Sabtu, 07 Juni 2008

Industri Kreatif

Deposit Tambang Baru Itu Bernama Warisan Budaya


KOMPAS/KENEDI NURHAN / Kompas Images
Warisan budaya seperti industri kerajinan batik yang jejaknya juga tersimpan di Museum Batik Danar Hadi Solo ini bisa menjadi basis pengembangan ekonomi kreatif. Pada workshop tentang warisan budaya di Solo, Sabtu (31/5), masalah seputar pengembangan ekonomi kreatif yang berbasis warisan budaya sempat mendapat sorotan.



Sabtu, 7 Juni 2008 | 03:00 WIB

Chua Soo Pong terlihat begitu menikmati kunjungannya ke Solo. Selain bisa menapakkan kaki di Keraton Solo dan diterima GRK Wandan Sari selaku Pengageng Sasono Wilopo Kasunanan Surakarta, Soo Pong juga disuguhi menu lengkap tentang aneka jenis dan kisah batik Indonesia berikut perkembangannya dari masa ke masa di Museum Batik Danar Hadi.

Tak sekadar menyimak penjelasan pemandu, Direktur Chinese Opera Institute of Singapore ini juga menyaksikan rantai industri batik Indonesia yang berada di Solo. Merasa belum puas, sore menjelang kepulangannya ke Singapura via Jakarta—setelah sehari sebelumnya mengikuti lokakarya tentang Pelestarian Warisan Budaya Antarbangsa Indonesia- Malaysia-Singapura di Solo, 31 Mei 2008—Soo Pong terlihat masih sibuk mencari tumpangan untuk diantar ke perkampungan batik di Laweyan.

”Kalau ada kesempatan berkunjung ke Solo, tentu di lain waktu, saya pun ingin melihat pedagang batik di Pasar Klewer,” kata Chua Soo Pong.

Batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia memang sudah menjadi bagian dari apa yang kini disebut sebagai industri kreatif. Terlepas dari adanya klaim pihak lain (baca: Malaysia) yang sudah mematenkan batik sebagai produk budaya mereka—dan itu harus disikapi sebagai sesuatu yang wajar—namun keanekaragaman serta kualitas berikut sejarah panjang perjalanan batik (di) Indonesia diyakini tetap lebih unggul.

Artinya, batik sebagai ”bahan baku” yang digarap secara profesional dan dengan keterampilan yang tepat-terukur, sesuai selera dan permintaan pasar, niscaya akan bisa menjadi salah satu ”soko guru” baru perekonomian Indonesia yang tengah terpuruk ini. Dalam tata ekonomi global yang mulai menunjukkan kecenderungan kuat pada penguatan akan kreativitas pengolahan produk-produk berbasis warisan budaya, batik diyakini bisa menjadi semacam lahan ”tambang” baru untuk terus dieksplorasi.

Harus dikelola

Batik hanya ibarat satu noktah kecil di tengah serakan mata budaya yang dimiliki oleh bangsa berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini. Tak terbilang jenis warisan budaya lain yang ada di negeri ini, yang sesungguhnya bisa diolah sebagai komoditas dasar dalam proses industri kreatif. Bahkan, tradisi-tradisi lisan atau naskah-naskah kuno yang merupakan warisan budaya bangsa ini pun bisa menjadi sumber inspirasi untuk memunculkan gagasan baru sebagai sumber produk industri kreatif.

Apa yang dilakukan sutradara Robert Wilson, yang mampu menggarap dan membawa naskah I La Galigo ke panggung pentas pertunjukan dunia, bisa menjadi contoh menarik. Di tangan Robert Wilson, karya sastra klasik dari epos mitologi genesis orang Bugis—yang ditulis ulang oleh Ratna Kencana Calli Pujie Tanete Arung Pancana pada awal abad ke-19—itu tiba-tiba saja seperti terbangun dari tidur panjangnya; menyapa dunia, menggedor ingatan publik akan keberadaan tokoh Sawerigading si anak Batara Guru!

Tidak tanggung-tanggung, lewat sentuhan Robert Wilson, I Lagaligo mampu menyihir pecinta seni pertunjukan dunia bersama penata musik anak negeri: Rahayu Supanggah. Di panggung Lincoln Center, New York, pentas I La Galigo mendapat sambutan luar biasa. Begitupun di Singapura, Paris, London, dan Barcelona.

Begitulah, di tengah kehadiran gelombang ”peradaban baru” yang dicirikan munculnya apa yang disebut sebagai industri kreatif—sering juga disebut ekonomi kreatif, kemampuan mengolah dan mentransformasikannya secara profesional menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa itu, ”tambang baru” industri berbasis warisan budaya tersebut hanya menjadi beban.

”Pertanyaannya, apakah kita sudah siap mengolah deposit budaya kita yang begitu kaya tersebut? Atau, apakah mata budaya kita sebagai ’bahan baku’ bagi produk industri kreatif itu harus diolah orang lain, seperti kasus I La Galigo dan bahan tambang yang sesungguhnya?” kata Mukhlis PaEni, Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata bidang Pranata Sosial, di hadapan peserta workshop perlindungan warisan budaya antarbangsa di Solo, pekan lalu.

Dalam kasus I La Galigo, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) hanya bisa berkata, ”Spirit kesuciannya memang masih dimiliki orang Bugis. Akan tetapi, nilai ekonominya jadi milik Robert Wilson.”

Bagaimana dengan mata budaya lain? Haruskah pengelolaannya juga akan bernasib serupa dengan kasus I La Galigo, seperti halnya realitas yang kita saksikan hari ini, di mana banyak ladang deposit tambang dari perut Bumi kita yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing?

Mengutip pandangan Alvin Tofler (The Third Wave, 1980) tentang tiga fase gelombang peradaban umat manusia, Mukhlis PaEni mengingatkan bahwa apa yang menjadi perbincangan dunia pada tiga dasawarsa silam itu kini sudah dilampaui.

Peradaban yang ditulangpunggungi bidang pertanian jelas sudah terjadi. Begitupun peradaban yang berbasis revolusi industri. Adapun gelombang peradaban yang ditopang revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga sudah menjadi kenyataan. Yang disebut terakhir ditandai ketergantungan kehidupan manusia pada teknologi informasi dan komunikasi.

Kini, dunia sudah memasuki gelombang peradaban keempat, di mana budaya akan menjadi basis sekaligus tulang punggung perekonomian. Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sudah memperlihatkan kecenderungan ke arah itu. Budaya ditempatkan sebagai deposit, tambang baru, yang harus diolah agar mendatangkan kesejahteraan bagi warga bangsa.

”Lagipula, kalau suatu warisan tak bisa mendatangkan kesejahteraan, lalu untuk apa kita mewarisinya. Mestinya, warisan budaya pun begitu,” kata Mahyuddin Al Mudra, pendiri sekaligus pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

Dalam konteks inilah aspek pelestarian atas warisan budaya berkelindan dengan nilai ekonominya. Tak mesti dipertentangkan, tapi bagaimana mendudukkannya agar ada keseimbangan antara yang suci-sakral dengan yang profan. (asa/ken)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar