detikbandung
Oleh Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc.
Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subjek (pelaku) dan objek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum (unlawful), dan penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada setiap sistem pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi. Begitu pun penggelapan pajak mempunyai risiko terdeteksi yang inherent pula, serta mengundang sanksi pidana badan dan denda. Tidak tertutup kemungkinan, untuk meminimalkan risiko terdeteksi para pelaku penggelapan pajak akan mengaburkan asal usul hasil kejahatan dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang.
Untuk dapat membongkar kejahatan di bidang perpajakan, seperti kasus Asian Agri Group (AAG) yang mencuat ke permukaan melalui pemberitaan media massa, lembaga pemerintah terkait yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu lebih meningkatkan lagi kerja sama dan koordinasi. Kita ketahui bahwa kejahatan penggelapan pajak, pencucian uang, dan korupsi merupakan rangkaian kejahatan yang saling terkait satu sama lain, namun dalam penanganannya tidak selalu sama. Misalnya untuk kasus penggelapan pajak, penyelesaiannya boleh di luar persidangan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP) memberi peluang kepada pelaku penggelapan pajak bebas dari jeratan hukum pidana. Jaksa agung dapat menghentikan penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan. Namun demikian, penghentian penyidikan pidana tersebut hanya dapat dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak beserta dendanya.
Selain kasus AAG, dugaan terjadinya tindak kejahatan di bidang perpajakan lain yang cukup menarik perhatian kita adalah kasus manipulasi pajak hingga ratusan miliar rupiah di Kabupaten Karawang, yang melibatkan oknum petugas Ditjen Pajak, konsultan pajak, dan wajib pajak perusahaan. Perkiraan sementara, modus operandinya dengan ketentuan menghitung pajak sendiri (MPS). Kasus ini berawal dari temuan PPATK yang mencurigai adanya transfer uang 500.000,00 dolar AS (sekitar Rp 4,5 miliar) ke rekening bank BUMN atas nama oknum pegawai Ditjen Pajak berinisial "YH". Penyidik Kepolisian Daerah Jawa Barat masih terus mengembangkan kasus tersebut dengan memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat. Kalau kasus ini dapat ditangani dan diselesaikan dengan baik, untuk pertama kalinya, Indonesia mampu membongkar tindak kejahatan di bidang perpajakan yang melibatkan banyak pihak dan keberhasilan kita mengembalikan kekayaan negara (asset forfeiture) dalam jumlah yang cukup signifikan.
Dalam praktik bisa terjadi misalnya wajib pajak hanya membayar 50% dari kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya "dikantongi" oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang 25% lagi yang disetorkan ke kas negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya uang negara bisa mencapai 75%.
Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan negara, baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan, maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Mengingat pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan negara, maka kejahatan di bidang perpajakan harus dapat dicegah dan diberantas. Sejalan dengan itu, setiap pelaku kejahatan di bidang perpajakan harus dihukum dan hasil kejahatannya disita oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melawan hukum
Perpajakan sebagai hak dan kewajiban, sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dalam pelaksanaannya melekat perilaku kepatuhan (compliance) dan ketidakpatuhan (non compliance). Untuk hal ini, ketidakpatuhan membayar pajak merujuk pada ketidakberhasilan wajib pajak untuk mendaftarkan diri pada institusi pajak guna memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP), menghitung, membayar, dan melaporkan pelaksanaan kewajiban pajaknya dalam surat pemberitahuan (SPT) secara benar dan lengkap, baik karena alpa maupun sengaja.
Pasal 43 ayat (1) UU KUP menetapkan bahwa selain dilakukan oleh pembayar pajak (plagen atau dader), tindak pidana pajak dapat melibatkan penyerta (deelderming) seperti wakil, kuasa atau pegawai pembayar pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan (doen plegen atau middelijke), yang turut serta melakukan (medeplegen atau mededader), yang menganjurkan (uitlokker), atau yang membantu melakukan tindak pidana perpajakan (medeplichtige). Sementara itu, Pasal 38 UU KUP menetapkan bahwa "pelanggaran pajak" termasuk: (1) tidak menyampaikan SPT; dan (2) menyampaikan SPT dengan isi yang tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar. Sementara pasal 39 UU KUP menyebutkan, "kejahatan pajak" seperti: (1) tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh SPT, (2) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP, (3) tidak menyampaikan SPT, (4) menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, (5) menolak untuk dilakukan pemeriksaan, (6) memberitahukan pembukuan palsu atau dipalsukan atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, (7) tidak menyelenggarakan pembukuan, (8) tidak menyimpan buku, catatan dan dokumen, dan (9) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. Selain itu terdapat juga tindak pidana percobaan (pogging) penyalahgunaan NPWP atau penyampaian SPT untuk mendapatkan restitusi pajak, dan penerbitan atau pemanfaatan surat setoran pajak atau dokumen yang tidak benar sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Prof. Gunadi, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia memaparkan modus kejahatan pajak dengan melakukan penyalahgunaan mekanisme pengkreditan faktur pajak masukan dalam sistem pajak pertambahan nilai yang dilakukan para pengekspor untuk menggangsir penerimaan pajak negara melalui restitusi PPN ekspor. Pola penggangsiran uang pajak yang mereka lakukan umumnya dengan memanfaatkan faktur-faktur pajak masukan yang telah dikeluarkan oleh pengusaha kena pajak yang tidak jelas identitasnya (fiktif) tanpa dilandasi suatu transaksi penjualan barang kena pajak atau faktur-faktur pajak yang diterbitkan oleh mal-mal penjual barang konsumen yang umumnya tidak dimanfaatkan oleh pembeli barang (karena bukan pengusaha kena pajak). Pegawai mal-mal tersebut menjual faktur-faktur dimaksud dengan harga minimal (10%) dari nilai pajak masukan, kepada para pengusaha nakal yang kemudian dengan rekayasa seolah-olah telah terjadi ekspor, pengusaha nakal tersebut meminta restitusi PPN. Adalah merupakan fakta bahwa sampai saat ini nilai restitusi PPN sekitar 70% dari total restitusi pajak.
Pencucian uang
Untuk mengaburkan jejak dan menyembunyikan uang hasil restitusi yang tidak benar tersebut umumnya mula-mula dilakukan placement atas uang restitusi dengan menyodorkan rekening pengusaha kena pajak ke Kantor Perbendaharaan Negara. Setelah placement akan diikuti dengan pola layering (pelapisan) dengan memecah dan mentransfer uang tersebut ke beberapa rekening yang kemudian ditransfer lagi ke rekening perseorangan pada bank yang sama atau bank yang lain baik dalam negeri maupun luar negeri. Tidak sedikit pula uang hasil tindak pidana perpajakan tersebut telah dicuci dalam bentuk integration misalnya dalam pembelian harta dengan mengatasnamakan orang lain atau pemisahan hak kepemilikan legal (legal ownership) dengan pemilikan ekonomis (economic ownership) atau penerima manfaat (beneficiaries). Bahkan, banyak yang menanamkan uang hasil tindak pidana bidang perpajakan tersebut dalam berbagai jenis perusahaan.
Upaya mengaburkan atau menyembunyikan uang hasil kejahatan dari perpajakan sebagaimana pola tadi dapat diindikasikan pelaku tersebut telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Hal ini diatur didalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 (UU TPPPU).***
Penulis, Kapolda Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar