Mem(p)erhatikan
SEKALI lagi soal ketidakkonsistenan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut rencana, KBBI Edisi Keempat, yang akan terbit tahun 2008 ini, mengalami perubahan isi -- selain penambahan lema -- tentu saja. Salah satu perubahan yang ramai dibicarakan, terutama di milis Guyub Bahasa pada pekan-pekan lalu, adalah menyangkut kata perhati.
Kabarnya, lema perhati tidak akan lagi memiliki status baku, tetapi akan merujuk ke lema hati, yang akan menurunkan sublema berhati-hati, perhatian, memperhatikan, dst. Alasannya, perhati bukanlah kata dasar karena kata dasarnya adalah hati.
Dengan terbitnya KBBI Edisi Keempat, para pengguna bahasa tentu saja harus kembali memakai bentuk memperhatikan, bukan memerhatikan seperti yang sekarang sangat umum dipakai di media massa (terutama surat kabar dan buku).
Namun, mengenai kata perhati ini, KBBI sendiri sesungguhnya membingungkan. Bandingkan saja penjelasan lema perhati ini pada KBBI Edisi Kedua dan KBBI Edisi Ketiga.
Pada KBBI Edisi Kedua (Cetakan kesepuluh, 1999), lema perhati dijelaskan sebagai berikut: perhati, memperhatikan 1 melihat lama dan teliti; mengamati, menilik; 2 merisaukan; mengindahkan; perhatian n hal memperhatikan; apa yang diperhatikan; minat; pemerhati n orang yang memperhatikan; peminat; pengamat.
Lalu, pada KBBI Edisi Ketiga (Cetakan ketiga, 2005), lema perhati dijelaskan sebagai berikut: perhati, berperhatian v mempunyai perhatian; menaruh minat; memerhatikan v 1 melihat lama dan teliti; mengamati, menilik; 2 merisaukan; mengindahkan; perhatian n hal memperhatikan; apa yang diperhatikan; minat; pemerhati n orang yg memperhatikan; peminat; pengamat.
Perhatikan, menurut KBBI Edisi Ketiga, kata perhatian diberi arti "hal memperhatikan" (bukan "hal memerhatikan"). Kata pemerhati juga diberi arti "orang yang memperhatikan" (bukan "orang yang memerhatikan"). Apakah ini masalah ketidakecermatan penyuntingan?
Untuk keperluan sendiri, saya pernah mendaftar sejumlah kata yang kerap membingungkan, mana yang baku dan mana yang tidak baku. Berpegang pada KBBI Edisi Kedua, saya mendaftar lebih dari 200 kata yang sering ditulis secara keliru, termasuk di antaranya artefak, debitur, zuhur, frasa, paruh, intermeso, dan kavling (kaveling). Menurut KBBI Edisi Kedua, kata-kata itu tidak baku karena yang baku adalah artifak, debitor, lohor, frase, paro, intermezo, dan kapling. Namun, menurut KBBI Edisi Ketiga, bentuk yang baku adalah artefak, debitur, zuhur, frasa, paruh, intermeso, dan kaveling.
Pihak yang bingung, tentu saja, bukan hanya para editor (bahasa) media massa, melainkan pemakai bahasa Indonesia secara menyeluruh. Kasihan juga para siswa yang menyadari bahwa bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang penting. Karena KBBI termasuk barang mahal, dipastikan hanya sebagian kecil pemakai bahasa Indonesia yang mampu membelinya. Bagaimana kalau, karena alasan harga ini, mereka tetap berpedoman pada KBBI Edisi Kedua?
Tidak jelas betul mengapa kata-kata seperti artifak, debitor, lohor, frase, paro, intermezo, dan kapling dianggap tidak baku. Apakah karena merujuk bentuk aslinya dalam bahasa asing? Atau karena kata-kata di atas lebih sedikit dipakai di masyarakat dibandingkan dengan artefak, debitur, zuhur, frasa, paruh, intermeso, dan kaveling?
(Hermawan Aksan, pemakai bahasa Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar