Jumat, 06 Juni 2008

Pemandu yang Gandrung Tradisionalisme


KOMPAS/AMIR SODIKIN / Kompas Images
Felix Feitsma



Jumat, 6 Juni 2008 | 03:00 WIB

Oleh AMIR SODIKIN

Dari dalam tas pesek terbuat dari kulit buah maja, dikeluarkannya beberapa barang khas Sunda. Tas itu seharusnya bulat, tetapi terlihat cekung di kedua sisinya. Cekungan artistik itu sebenarnya hasil tak sengaja karena buah maja itu dahulu tumbuh di jepitan pohon.

Karinding, alat musik pukul dengan resonansi mulut itu, dikeluarkannya dan dimainkan sesaat. Getaran low desible itu dahulu digunakan untuk mengusir hama. Getaran yang dibuat pemain karinding profesional diyakini mengeluarkan bunyi ultrasonik yang bisa mengusir serangga.

Bosan memainkan karinding, dikeluarkannya rokok. Bukan rokoknya yang akan dia pertunjukkan, melainkan cara dia menyulut api. Bukan dengan korek api, melainkan dengan cara zaman batu.

Dikeluarkannya ”dompet” kecil yang sebenarnya kulit buah kluwek yang di dalamnya berisi rambut-rambut halus pelepah aren yang sudah tua. Dia menyebutnya lum-lum. Percikan api kemudian dia buat menggunakan gesekan besi dan batu. Crek... crek..., api pun menyambar lum-lum itu.

”Lum-lum, batu, dan besi ini sudah saya ekspor ke negara luar,” dengan gaya tenangnya Felix membuka percakapan. Kata Felix, di AS banyak perguruan tinggi, sekolah, dan museum yang menggunakan produknya sebagai bahan pelajaran sejarah pembuatan api zaman dahulu.

Felix juga menyebut angkatan bersenjata sebuah negara di Asia pun mengimpor produknya. ”Mereka menggunakan produk ini untuk survival,” katanya.

Di Bandung, Jawa Barat, Felix yang dikenal sebagai budayawan, pemandu wisata, dan pelestari budaya ini identik dengan fashion khas Sunda. Selain tas buah maja dan ”korek api” tradisional, ia juga mengenakan baju kampret khas Sunda, celana pangsi, ikat kepala, dan sandal kayu.

”Pakaian ini biasa dipakai petani dan rakyat biasa. Saya sudah memakainya sejak 12 tahun lalu,” katanya. Dua belas tahun silam Felix menemukan keasyikan mencintai budaya Nusantara sekaligus memperkenalkannya kepada turis asing.

Ketika berinteraksi dengan lawan bicara, biasanya para turis, ia selalu punya kisah menarik. Entah soal Kota Bandung, budaya Sunda, maupun daya tarik wisata Nusantara lainnya. ”Inti dari teknik memandu wisatawan adalah bagaimana kita menjelaskannya,” katanya.

”Kalau kita kreatif, turis akan tertarik. Misal, kita hanya bilang Candi Borobudur dibangun raja ’gila’ yang memerintahkan rakyatnya menumpuk-numpuk batu. Itu pasti tak mengundang minat. Tetapi, kalau kita bilang pada relief candi itu bisa menguak sejarah peradaban manusia saat itu, turis akan tertarik,” lanjut Felix.

Mulai memandu
Kekaguman Felix terhadap tradisi Nusantara berawal dari iseng. ”Sebagai anak orang kaya, waktu kecil saya tak peduli dengan sekolah. Saya suka bicara dan memandu orang asing yang datang ke Bandung. Sejak saat itu (1960-an) saya sering memandu,” kata pria keturunan Belanda ini.

Sebagai pemandu jalanan saat itu, Felix diam-diam mengagumi pemandu ”official” atau pemandu resmi yang berafiliasi pada agen-agen perlawatan dan pariwisata.

Tahun 1980 dia resmi menjadi pemandu ”official” setelah melamar di Jakarta. Walaupun hanya tamatan SMA, Felix fasih berbahasa Inggris dan Belanda karena lingkungan keluarga.

Keluarga Felix kini memilih tinggal di Belanda, tetapi dia telanjur jatuh cinta dengan Nusantara. Ia telah bergabung dengan banyak agen perlawatan dan pariwisata, seperti Indonesian Explorer, Smailing Tour, dan Satriavi.

”Banyak agen tour and travel itu memberi kesempatan mempelajari daerah tujuan wisata, menggali tempat-tempat unik yang sebelumnya tak ditemukan,” katanya.

Namun, tahun 1990-an Felix memutuskan kembali ke Bandung. Sempat bergabung dengan Bhayangkara Tour & Travel, tetapi tahun 1995 ia memutuskan berhenti.

Felix kembali memandu wisatawan dengan manajemen sendiri. Mulai dari menyambut tamu, mencari penginapan, menyiapkan perjalanan, hingga perbekalan. ”Saya bekerja seperti agen travel seorang diri,” katanya.

Felix selalu memiliki tujuan wisata yang lain dari biasa, bahkan di perkotaan pun dia punya. Misalnya di Jalan Dago Pojok, Kampung Tanggulan, Bandung Utara, di daerah kelas satunya Bandung. Ada kampung yang memberi perspektif berbeda dari wisata kota selama ini.

”Menawarkan wisata pedesaan, ada kerbau, sawah, rumah tradisional dengan arsitektur menarik, lantai masih tanah, tak memakai listrik, pokoknya natural banget,” katanya.

Wisata minat khusus

Tempat-tempat di Nusantara yang masih ada suku tradisionalnya sudah dia kunjungi, termasuk semua taman nasional. Hal yang berkesan adalah pengalamannya memandu akademisi, termasuk profesor.

”Saya banyak memandu wisatawan minat khusus atau special interest. Ada ahli arkeologi, geologi, antropologi, biologi, mikrobiologi, sosiologi, dan ilmuwan lain yang saya pandu untuk melakukan perjalanan wisata,” katanya.

Felix spesialis mengorganisasi ekspedisi wisata minat khusus seperti itu. Bertahun-tahun ia memandu di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, dan daerah terpencil lain yang tak pernah ada dalam daftar tujuan wisata agen-agen perlawatan dan pariwisata konvensional.

Karena interaksi yang sering dengan akademisi, Felix fasih menuturkan sejarah yang terkandung pada candi, atau bercerita soal arkeologi, bahkan mikrobiologi.

Dari penjelajahan di seluruh Nusantara yang dia lakukan, ia paling menikmati Pulau Siberut, Sumatera Barat. Panorama dan keaslian alamnya tak ada di tempat lain.

”Hal-hal seperti ini tak dibidik agen travel karena tak punya informasi,” kata Felix. Tempat-tempat turistik yang biasa dikunjungi wisatawan biasanya tak menarik minat para peneliti, antropolog, pengelana, dan pencari dunia yang berbeda dari dunia sehari-hari para turis. Para turis asing itu sebenarnya hanya ingin melihat keaslian.

Setelah melihat kebesaran Nusantara, Felix tak habis pikir dengan sikap pemerintah yang tak responsif. Dengan aset yang sedemikian seksi, seharusnya Indonesia unggul.

”Lebih baik tak ada dinas pariwisata atau departemen, buang duit saja. Cukup mendirikan badan khusus pariwisata,” katanya. Peran pemerintah adalah mempersiapkan moral masyarakat mengenai pelayanan wisata.

”Terutama masalah kebersihan dan sanitasi. Bukan berarti harus ada gelas porselen atau menu mewah model Barat. Justru kita harus mengangkat kearifan lokal untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan,” katanya.

Jika daerah itu kaya bambu, ya buatlah rumah dengan arsitektur bambu yang menarik. Tempat mandi dan toilet juga tak harus dirancang gaya Barat, tetapi dengan sentuhan tradisional justru lebih disukai.

”Daripada pemerintah membangun hotel, lebih baik memberi arahan kepada komunitas untuk menyiapkan guest house. Pariwisata harus bisa menyejahterakan masyarakat lokal,” kata Felix.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar