GETTY IMAGES/SALAH MALKAWI
Sebuah toko penjual bumbu di ibu kota Arab Saudi Riyadh. Tidak ada yang murah di negara itu kecuali BBM.
SULTAN al-Mazeen baru-baru ini berhenti di sebuah SPBU di pusat kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Ia hanya perlu merogoh 45 sen untuk satu galon bensin agar SUV-nya tetap bisa jalan. Perkiraan kasarnya, Rp 1.000 per liter. Di AS, orang harus mengeluarkan duit 10 kali lipat.
Namun, jangan keburu iri dengan harga murah di Arab Saudi. Di sana ternyata hanya minyak yang murah. Bagi al-Mazeen, montir berusia 36 tahun ini, dan warga Saudi lainnya, hanya harga minyak yang masih menghibur, sedangkan barang-barang lain harganya semakin melangit dengan inflasi tertinggi selama 30 tahun terakhir.
"Orang Amerika jangan iri pada kami karena harga BBM lebih murah di sini. Kami justru merasa lebih miskin dari sebelumnya," kata al-Mazeen. Memang warga Arab Saudi hanya merasa ringan ketika mengeluarkan uang untuk beli bensin atau solar. Tetapi, meski kesejahteraan mereka tergolong di atas rata-rata, mereka tetap saja sesak ketika membeli barang-barang kebutuhan di supermarket atau sekadar makan di restoran.
Meski Arab Saudi makin kaya karena harga minya menyentuh titik 145 dollar per barrel, inflasi di negeri ini juga meroket, nyaris mencapai angka 11 persen. Angka ini memecahkan rekor dua digit yang pertama sejak 1970-an.
"Harga bensin di sini murah, lalu mau apa. Apa yang bisa kita buat dengan bensin? Meminumnya? Dibawa ke supermarket?" kata Muhammad Abdullah, pensiunan berusia 60 tahun.
Al-Mazeen mengungkapkan, anggarannya untuk sembako meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya, ketika harga minyak masih 70 dollar per barrel. Waktu itu harga beras menjadi dua kali lipat, menjadi 150 sen per kg dan sekilo daging berlipat tiga menjadi 8 dollar.
Lebih parah lagi, saat ini Arab Saudi sedang bergelut dengan masalah pengangguran yang mencapai 30 persen pada usia 16-26 tahun. Pasar saham pun merosot 10 persen sejak awal tahun.
Banyak warga Saudi yang menyadari, kali ini kenaikan harga minyak tidak lagi membawa dampak seperti tahun 1970-an, yang mengubah mereka dari miskin menjadi kaya raya. Saat itu dollar dari minyak tak seketika itu juga membuat mereka tambah kaya.
Salah satu alasannya adalah terus meningkatnya populasi, kata kepala ekonom Saudi British Bank, John Sfakianakis. Pada 1970-an, kerajaan ini hanya punya 9,5 juta penduduk, sekarang setidaknya ada 27,6 juta penduduk, termasuk 22 juta warga negara Saudi sendiri.
Itu artinya, negara yang mengontrol seluruh hasil penjualan minyak harus membagi kekayaannya kepada lebih banyak orang. Di samping sistem kesejahteraan yang meliputi pendidikan dan kesehatan gratis serta manfaat lain bagi penduduk, sektor publik mempekerjakan 2 juta orang dan menghabiskan 65 persen anggaran negara untuk membayar gaji.
"Negara ya memang lebih kaya, tetapi negara juga punya tiga kali lipat penduduk yang harus diberi makan. Bahkan, jika inflasi lebih rendah, negara ini dan kebutuhan negara ini lebih besar dari sebelumnya," kata Sfakianakis.
Dengan sendirinya, pemerintah tidak punya banyak peluang untuk meningkatkan gaji pegawai untuk membantu mereka menghadapi kenaikan harga. "Uni Emirat Arab baru-baru ini meningkatkan gaji pegawai negeri hingga 70 persen, tetapi bila ini diikuti Saudi, maka yang akan dihadapi adalah defisit," katanya.
Bertolak belakang dengan anggapan orang-orang Barat, ternyata orang Saudi tidak termasuk orang paling kaya di Teluk. Negara-negara Teluk lain punya penduduk jauh lebih sedikit sehingga kekayaan hasil minyak mereka lebih cepat merata. Pendapatan per kapita Saudi memang tergolong tinggi, yaitu 20.700 dollar, tetapi jauh jika dibandingkan dengan Qatar yang berpenduduk hanya 500.000 jiwa dan pendapatan per kapitanya 67.000 dollar per tahun.
Baru-baru ini dalam wawacara dengan koran Kuwait, Al-Siyassah, Raja Abdullah mengatakan, "Para pejabat punya solusi dan rencana yang cocok untuk memerangi inflasi. Pemerintah kan bisa menggunakan uangnya untuk menahan meningkatnya harga bahan kebutuhan pokok. Pemerintah juga bisa menggunakan cadangan dananya untuk melawan inflasi dan mengembalikan semuanya ke situasi normal," tanpa penjelasan lebih rinci.
Para pengamat mengatakan, pendorong utama inflasi adalah permintaan yang amat tinggi di dalam negeri, misalnya apartemen, ruang kantor, dan makanan, bersamaan dengan meningkatnya harga makanan dan bahan dasar. Inflasi di Saudi juga disebabkan melemahnya nilai tukar dollar karena real dipatok berdasarkan mata uang AS, meningkatnya biaya impor, sedangkan sebagian besar impor kerajaan itu berupa bahan-bahan penting.
SAS
Sumber : AP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar