Selasa, 08 Juli 2008

Pengawasan Distribusi Harus Transparan

Waspadai yang Berbahan Kimia

 
SAMPEL jamu dengan bahan kimia obat (BKO) Asam Urat Flu Tulang Cap Unta yang ditarik dari peredaran.* RIRIN N.F./"PR"


DALAM benak masyarakat, jamu menjadi suplemen yang diandalkan untuk memelihara kesehatan dan pencegahan penyakit. Jamu terdiri atas campuran rempah-rempah dan bahan alami berdasarkan resep turun-temurun. Di pilih karena murah dan praktis tanpa efek samping dan diproduksi secara tradisional.

Padahal, jamu kemasan yang beredar justru sebaliknya. Selain banyak produsen memalsu nomor register produk, bahan jamu pun "dimodifikasi" dengan tambahan bahan kimia obat (BKO). Cukup satu kali menenggak jamu, hasilnya cespleng dan tubuh kembali segar bugar.

Namun, masyarakat harus waspada jamu yang menawar-kan khasiat instan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan peringatan masyarakat (public warning) No. KH.00.01.43.2773 tertanggal 2 Juni 2008 tentang obat tradisional yang mengandung BKO. Berdasarkan pengujian laboratorium, ditemukan 54 produk jamu mengandung BKO keras yang berbahaya bagi kesehatan. 

Berbagai efek samping saat mengonsumsi jamu dengan BKO tanpa pengawasan dokter, di antaranya bahan kimia sibutramin hidroklorida yang bisai menimbulkan hipertensi dan sulit tidur, sildenafil sitrat menyebabkan sakit kepala, mual, nyeri dada, dan gangguan penglihatan. Asam mefenamat menyebabkan kantuk, diare, kejang, ruam kulit, dan ginjal. Prednison menyebabkan gangguan pencernaan, depresi, osteoporosis, gangguan haid, dan gangguan keseimbangan cairan. Metampiron menyebabkan telinga berdenging, gangguan pembentukan sel darah, gangguan sistem saraf, shock, dan kematian, sedangkan teofilin me-nimbulkan palpitasi, sakit kepala, dan insomnia. Parasetamol yang sering dikonsumsi menyebabkan kerusakan hati.

Bahkan, hampir semua BKO menyebabkan efek samping langsung, berupa borok pada dinding mukosa lambung (peptic ulcer) yang menjadi penyebab utama bocor lambung (perforasi gaster). Kasus kebocoran lambung belakangan meningkat tajam di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Jumlah kasus pasien dengan bocor lambung pada 2005 sebanyak 26 orang, tahun 2006 sejumlah 38 orang, dan Januari-Juli 2007 meningkat 53 pasien.

Setelah itu, Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSHS mencatat hampir setiap hari terdapat pasien yang mengeluh alami kebocoran lambung. Kepala IGD RSHS dr. Tri Wahyu Murni, Sp. B. T-KV., menyatakan, para pasien mengalami nyeri di bagian ulu hati. 

Berdasarkan penuturan pasien, kebanyakan mereka pengonsumsi jamu-jamuan kronis (menahun) akibat penyakit rematik, nyeri kepala, dan flu. Mereka membeli jamu dari warung jamu bukan dari produsen terpercaya. 

Hubungan langsung antara konsumen jamu BKO dan peningkatan kasus bocor lambung memang belum jelas terbukti. Namun, hasil pemeriksaan patologi anatomi di dinding lambung menunjukkan borok dinding mukosa yang menyebabkan lambung bocor.

Menindaklanjuti surat peringatan, Balai Besar Peng-awasan Obat dan Makanan (BBPOM) Bandung melakukan pengawasan dan pembinaan ke sejumlah toko jamu di Bandung dan sekitarnya. Mereka menemukan puluhan dus berisi jamu BKO yang mencapai ribuan butir dan sachet di salah satu ruko di Kota Bandung. 

Jamu ber-BKO dalam jumlah lebih besar ditemukan di salah satu gudang di Jln. Raya Cileunyi-Rancaekek, Desa Cipacing Kec. Jatinangor Kab. Sumedang. Produksinya diperkirakan mencapai 2.000 karton. Meliputi serbuk, ca-iran, tablet, kapsul, pil, dan kaplet. Selain mengandung BKO, sejumlah produk tidak mencantumkan nomor izin edar.

Menurut Kepala BPOM Husniah Rubiana Thamrin Akib M.S., M.Kes., Sp.F.K., peredaran produk jamu dengan BKO hampir ke seluruh wilayah Indonesia. "Kami berkomitmen, proses hukum terhadap kasus ini akan ditindaklanjuti sampai tuntas bekerja sama dengan jajaran penegak hukum," katanya.

Masyarakat diharapkan bijak dan teliti dalam memilih jamu untuk dikonsumsi. Jika menemukan hal yang mencurigakan, agar menghubungi Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) Badan POM tersebar di seluruh Indonesia. 

Sepertinya public warning yang dikeluarkan BPOM Nomor: KB.01.001.2003 dan KH.00.01.1.5116 tertanggal 4 Desember 2006 terkait pelarangan edar jamu ber-BKO tidak membuat produsen jamu nakal menghentikan kegiatan.

Meski dilarang beredar, jamu dengan BKO mudah didapat di pasaran. Seorang pemilik kios jamu di Pasar Sederhana Kota Bandung, Basiran (56), mengaku jamu itu banyak dicari masyarakat karena laku keras. 

Hal serupa diungkapkan pengelola Toko Ikatan Keluarga Koto` Tengah (IKKT) Jln. Raya Cibaduyut Kota Ban-dung, Basyir (40). "Jamu-jamu itu banyak yang nyari," ujarnya.

Koordinator Yayasan Bina Konsumen Indonesia Ir. Hermina Suyono Hadi minta pengawasan dan evaluasi terhadap distribusi obat dan makanan agar transparan. "Penarikan dan pemusnahan produk obat yang tidak memenuhi syarat dapat optimal," katanya.

Dengan dasar hasil temuan, lanjut Hermina, BPOM harus melakukan pelaporan kepada kepolisian agar dapat meng-hentikan produksi. "Kegiatan melanggar hukum akan ditindak secara hukum, sehingga akan menimbulkan efek jera kepada para produsen jamu nakal," ungkapnya.

Pengawasan dan pembinaan terhadap produk baru dan lama harus rutin dijalankan. Tidak hanya melihat kasat mata dan administratif, uji laboratorium juga dilakukan. BPOM juga harus jeli mengamati perubahan perilaku produsen dan konsumen, apa yang dilakukan dan fenomena di lapangan.

Untuk kasus jamu berkimia, sejatinya masyarakat menggali informasi soal produk, minimal lihat label, kandungan, masa kedaluwarsa, dan izin edar dari Depkes. Masyarakat harus benar-benar waspada. Jangan asal beli, karena nyawa Anda menjadi taruhannya. (Ririn Nur Febriani-/"PR")

***

Jamu Gendong Bertahan

 
PETUGAS Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kota Bandung memeriksa jamu-jamu yang mengandung bahan kimia obat (BKO) di salah satu toko di Kota Bandung, Jumat (13/6). Sebanyak 54 "item" produk obat yang dicampur dengan BKO keras harus segera ditarik dari peredaran karena membahayakan kesehatan masyarakat.* RIRIN N.F./"PR"


"Suwe Ora Jamu, Jamu Godong Telo…"

PENGGALAN syair lagu itu didendangkan Kusnadi (43), seorang buruh bangunan saat menanti pedagang jamu gendong melintas ke tempat kerjanya tiap pagi. Pilihannya, jamu beras kencur agar tubuh terbebas dari pegal linu, sekaligus meningkatkan nafsu makan dan berimplikasi pada tubuh yang sehat.

Jauh sebelum jamu dipasarkan dalam bentuk bung-kusan dan sachet, campuran ramuan tradisional ini sudah hadir dengan resep turun te-murun dari leluhur. Kekayaan alam yang melimpah menginspirasi pembuatan jamu dengan beragam resep sederhana. Biasanya terbuat dari daun, akar, dan umbi-umbian. Khasiatnya untuk kesehatan dan menyembuhkan berbagai penyakit. Setidaknya, terdapat 30.000 jenis tumbuhan dengan 940 jenis, di antaranya tumbuhan berkhasiat obat. 

Kapan istilah jamu digunakan pertama kali, tidak ada data pasti. Menurut pakar bahasa Jawa Kuno, jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno Jampi atau Usodo, artinya penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian. Istilah Jampi banyak ditemukan pada nas-kah Jawa Kuno seperti Gatot-kaca Sraya, yang digubah Mpu Panuluh pada Kerajaan Kediri masa pemerintahan Jayabaya (1135-1159 M). Nama Jamu menggunakan bahasa Jawa Madyo yang digunakan masyarakat umum, diperkenalkan oleh dukun atau tabib pengobat tradisional.

Bukti sejarah tertua yang menggambarkan kebiasaan meracik, memelihara kesehatan, dan minum jamu ditemukan pada relief Candi Borobudur, Prambanan, Pena-taran, Sukuh, dan Tegalwangi, dibangun pada masa Kerajaaan Hindu dan Buddha. 

Awalnya, resep jamu hanya dikenal di kalangan priai dan tidak diperbolehkan keluar dari Keraton. Seiring perkembangan zaman, masyarakat lingkungan Keraton yang sudah modern mulai mengajarkan racikan jamu kepada masyarakat. 

Sedangkan industri jamu skala rumah tangga dimulai sejak 200 tahun lalu, dirintis Ny. Item dan Ny. Kembar di Ambarawa, Jateng (1825). Menyusul, awal tahun 1900 beberapa industri jamu bermunculan dengan teknologi pengolahan, pengemasan, pemasaran, dan pengujian secara medis. 

Di luar industri, pemasaran jamu tradisional dengan cara digendong masih bertahan. Seorang penjual jamu gendong, Sri Mayem (40), mengaku penjualan jenis jamu gendong tergantung kebiasaan dan minat konsumen. Umumnya resep jamu gendong ada 8 macam, yaitu beras kencur, kunyit asem, sinom, cabai puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, dan uyup-uyup. Bahan-bahannya, kapulaga, kedawung, jahe unyit, kayu manis, adas, beras, dan rimpang kencur. 

Cara pembuatan jamu gendong dengan merebus semua bahan, atau memeras sari yang ada lalu mencampurnya dengan air matang. "Semua bahan terbaik agar menghasilkan khasiat prima bagi masyarakat. Saya pastikan jamu yang dijajakan dibuat hari yang sama sehingga terasa segar," ungkap perempuan yang sudah berprofesi sebagai penjual jamu gendong selama 15 tahun.

Pelarangan edar jamu ber-bahan kimia obat (BKO) oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), cukup membuat dirinya khawatir. "Enggak berpengaruh langsung pada penjualan, tetapi banyak konsumen yang mempertanyakan soal jamu dilarang itu," katanya.

Dia meminta masyarakat tidak menyamaratakan kasus itu dengan jamu tradisional yang dijajakan, dan sejumlah penjual jamu gendong lain. "Mereka yang pakai jamu BKO itu enggak ngerti soal bahan jamu. Kalau para penjual jamu gendong paham soal khasiat jamu yang dibuat, sehingga tak merugikan masyarakat," ungkapnya.

Menurut Sri yang berjualan jamu di sekitar permukiman Jln. R.H. Abdul Halim Kota Cimahi, resep yang dibuat tidak sama antarpembuat jamu. "Enggak ada takaran standar untuk buat jamu, hanya pakai perkiraan. Sedangkan resep jamu, biasanya tergantung daerah asal penjual jamu," katanya. Karena tidak ada standar takaran, kadar kandungan zat berkhasiat berbeda untuk tiap pembelian bahan baku. 

Memperkaya pengetahuan tentang jamu gendong menjadi salah satu upaya pelestarian pengobatan tradisional khas Indonesia. Pemanfaatan jamu gendong lebih condong pada upaya promotif dan preventif untuk menjaga kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, kebugaran, relaksasi, dan kecantikan.

Jamu-jamuan dimasukkan ke dalam golongan suplemen makanan, bukan obat-obatan. Efeknya tidak akan langsung dirasakan peminumnya, karena sifatnya berupa suplemen, jika ada jamu yang efeknya "cespleng", justru masyarakat harus curiga karena bisa jadi dicampur dengan bahan kimia yang berbahaya. (Ririn N.F./"PR")***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar