Warisan Sang "Preangerplanter" untuk Priangan
"IMAH hideung" yang dibangun oleh K.A.R. Bosscha adalah perkampungan buruh pemetik teh di perkebunan Malabar. Bosscha meneruskan perkebunan teh tersebut dari Firma John Peet & Co pada tahun 1869.* RETNO HY/"PR"
Karena jasa-jasanya, K.A.R. Bosscha diangkat sebagai warga kehormatan Kota Bandung dan namanya diabadikan sebagai nama jalan di utara Bandung.
Semula, kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh K.A.R. Bosscha, diartikan sebagai politik balas budi terhadap negara jajahan yang sudah banyak memberikan kekayaan terhadap Belanda. Namun, secara perlahan pandangan tersebut lenyap dengan sendirinya, ketika berbagai peninggalan Bosscha sangat dirasakan manfaatnya, bahkan hingga kini.
P ada 10 Januari 1928, kapal Kertosono milik Rotterdamsche Llyod berlabuh di Pelabuhan Batavia. Kedatangan kapal Kertosono yang membawa refraktor dobel Zeiss dengan diameter 60 mm dan panjang 11 meter, mengakhiri masa penantian panjang Karel Albert Rudolf Bosscha dan Dr. J. Voute, yang memesan dan langsung membelinya dari Carl Zeiss Jena lengkap dengan meridian circle dari Askania Werk, Jerman pada 1921.
Jadi, reflektor itu baru datang 7 tahun sejak K.A.R. Bosscha memesan atau delapan tahun sejak Nederland Indische Sterrenkundige (NISV) atau Perhimpunan Ilmu Astronomi Hindia Belanda pertama kali menggelar rapat, 12 September 1920 di Hotel Homann Bandung.
Disaksikan Gubernur Jenderal Nr. A.C.D. de Graeff, pada 7 Juni 1928, Bosscha juga menyerahkan teleskop Banberg 37 cm kepada Himpunan Ilmu Astronomi Hindia Belanda. Juga diserahkan bantuan subsidi dari Departemen Angkatan Laut pemerintah Belanda sebesar Nf 18.000, suatu jumlah yang sangat besar waktu itu. Dana itu diperuntukkan membantu kelancaran pengoperasian observatorium.
Namun K.A.R. Bosscha sendiri tidak dapat menikmati semua jerih payahnya. Sejak dibangunnya kompleks observatorium di Lembang pada 1922 dan diresmikan pada 1 Januari 1923 oleh Gubernur Jenderal Mr. D. Fock, Sang "Preangerplanter" (juragan perkebunan di Priangan) belum sempat berkunjung karena menderita sakit akibat terjatuh dari kuda kesayangannya dan pada 26 November 1928, Bosscha meninggal dunia.
Kalangan astronomi yang pernah datang ke Bosscha Strennwach (observatorium Bosscha) ataupun mereka yang pernah menuntut ilmu di Fakultas Astonomi ITB dan lainnya, menjadikan kisah perjalanan K.A.R. Bosscha dengan sepak terjangnya di NISV, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Sebab, setelah Institute Teknologi Bandung berdiri tahun 1959, Bosscha menjadi bagian dari ITB. Sejak itu, Observatorium Bosscha berfungsi sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia, yang kemudian melahirkan para astronom Indonesia.
**
Jauh sebelum Bosscha Strennwach dibangun, sang "Preangerplanter", kelahiran ST Gravenhage, Den Haag 15 Mei 1865, yang semula datang ke tanah Priangan pada 1887 untuk mempelajari tanaman teh di Sukabumi itu, sudah banyak menyumbangkan pikiran, tenaga, dan dana bagi kepentingan-kepentingan sosial dan pembangunan Kota Bandung.
Berkat kecintaannya kepada alam Priangan yang indah, pada 1869 Bosscha menerima tawaran Firma John Peet & Co. untuk meneruskan perkebunan teh di kaki Gunung Malabar. Untuk selanjutnya mengganti pohon teh dengan bibit baru teh Assam, yang hingga kini membawa Indonesia ke jajaran penghasil teh terbaik dunia.
Sebelum membangun Wisma Malabar pada 1894 untuk tempat tinggalnya, empat tahun sebelumnya Bosscha membangun perkampungan buruh pemetik teh dengan membangun Imah Hideung berikut pasar dan sarana lain layaknya perkampungan. Dilanjutkan dengan membangun Vervoloog (SD Malabar II) pada 1901 dan membangun pabrik teh Malabar dan Tanara. Tidak kalah pentingnya adalah pembangunan PLTA Cilaki dan Citamaga serta sejumlah danau (situ) sebagai penampung air.
K.A.R. Bosscha, tidak hanya dikenal dalam dunia perkebunan dan budi daya teh, sumbangsihnya juga diberikan untuk pembangunan Societeit Concordia (Gedung Merdeka), dewan penyantun Tehnische Hogeschool (kini ITB), Doofstommen Instituut (Lembaga Pendidikan Anak-anak Tuli Bisu) sekarang SLB Cicendo, serta Bala Keselamatan di Jalan Jawa dan mendirikan Institut Kanker pertama.
Selain itu, ia juga turut andil dalam pembangunan Telefoon Maatschappij voor Bandung en Preanger (kini PT INTI), serta kompleks Nederlands-Indische Jaarbeurs yang kini menjadi Makodam Siliwangi. Sebelum akhir hayatnya, K.A.R. Bosscha juga pernah menjadi Ketua Biro Spesialis Teh Hindia Belanda (1910) dan Ketua Pertanian Percobaan (1917).
**
Sumbangan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah mengubah satuan metrik. Dialah yang pertama kali memperkenalkan satuan hektare dan kilometer untuk menggantikan hitungan satuan tradisional bata, tumbak, pal, dan bahu di bumi Parahyangan. Karena jasa-jasanya, K.A.R. Bosscha diangkat sebagai warga kehormatan Kota Bandung dan namanya diabadikan sebagai nama jalan di utara Bandung.
Semula, kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh K.A.R. Bosscha, diartikan sebagai politik balas budi terhadap negara jajahan yang sudah banyak memberikan kekayaan terhadap Belanda. Namun, secara perlahan pandangan tersebut lenyap dengan sendirinya, ketika bernagai peninggalan Bosscha sangat dirasakan manfaatnya, bahkan hingga kini.
Bahkan, keyakinan masyarakat pribumi semakin besar akan kebaikan K.A.R. Bosscha, ketika menjelang akhir hayatnya meminta jasadnya tidak dikirimkan ke negeri asalnya "Kincir Angin" Belanda. Dalam wasiatnya ia meminta untuk dimakamkan di petak hutan kecil tempatnya sering beristirahat di antara pohon saninten, rasamala, puspa, dan anggrit.
Sebagai penghormatan, melalui GB (Besluit van den Gouverneur-Generaal) tertanggal 7 Juli 1927 No. 27 Staatsblad 99, pemerintah menetapkan kawasan makam Bosscha sebagai kawasan cagar alam.
Bahkan, di dekat nisan Bosscha, bukan bendera merah putih biru yang tertancap, tetapi bendera merah putih kecil yang tertancap. Entah siapa yang memasangkannya.
Bagaimanapun, K.A.R. Bosscha telah mewariskan perkebunan teh berikut pabriknya, serta laboratorium ilmu pengetahuan yang masih layak dipakai oleh negeri ini. Ia merupakan representasi pemilik modal yang membuka usaha perkebunan di negeri jajahan sekaligus segelintir bangsa Belanda yang berhasil menjalankan politik balas budi dengan bangsa jajahannya, sebagaimana yang dipintakan Van de Venter kepada Ratu Belanda Wihelmina. (Retno H.Y./"PR"/dari berbagai sumber)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar