Jumat, 04 Juli 2008

Deyantono Berpromosi Bareng Truk Sampah


M Clara Wresti

Membangun usaha bukanlah hal yang mudah, apalagi membangun usaha di negeri orang. Deyantono Candra (32) berhasil membangun usaha di Taipei sejak tahun 2000. Caranya sederhana, hanya berpromosi bareng dengan truk sampah yang berkeliling kota.

Laki-laki kelahiran Surabaya, 4 Desember 1976, ini bercerita, sebenarnya usaha dia berdagang barang-barang produksi Indonesia di Taipei jauh dari cita-cita semula. Awalnya dia ingin berbisnis di bidang pertanian. Dia merintis usaha ini karena tidak rela antre sekian lama hanya untuk membeli sebungkus mi instan di toko yang menjual barang-barang dari Indonesia yang berlokasi di kota Taoyuan, sekitar satu jam perjalanan dari kota Taipei, Taiwan.

”Dulu, ketika saya kuliah bahasa Mandarin di Taipei, satu-satunya pelipur kangen adalah makan mi instan. Sayang, ketika itu sekitar tahun 1999, hanya ada satu toko Indonesia di Taoyuan. Akibatnya, orang-orang Indonesia setiap hari Minggu berbondong-bondong berbelanja di toko ini. Bisa dibayangkan panjangnya antrean di toko kecil itu,” kata laki-laki yang biasa disapa Dede ini mengenang.

Antrean di toko yang menjual produk Indonesia itu tentu saja panjang sebab saat itu ada sekitar 30.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Taiwan. Ini belum termasuk para mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri ini.

Melihat antusiasme orang Indonesia akan barang-barang dari Indonesia dan kesulitan mereka mendapatkan barang-barang tersebut, Dede lalu terpikir untuk membuka usaha yang sama. Dia lalu bekerja sama dengan seorang temannya, yang asli Taiwan.

Namun, Dede sadar, tidak mudah membalikkan pikiran orang. Semua TKI di Taipei berpendapat, toko di Taoyuan adalah satu-satunya toko produk Indonesia dan mungkin yang terlengkap. Jika dia membuka toko Indonesia di Taipei, belum tentu didatangi konsumen karena TKI sudah terbiasa pergi ke Taoyuan.

Untuk mengatasi kendala itu, Dede harus bisa mendapatkan tempat yang paling strategis buat tokonya. Dia lalu memilih sebuah toko yang berada dekat dengan Stasiun Utama Taipei.

”Saya cegat dulu orang-orang yang mau naik kereta api ke Taoyuan agar mereka mau melihat toko saya,” ujar Dede yang membuka toko pada tahun 2000.

Ke luar rumah

Agar lebih diketahui banyak orang, Dede pun menyebarkan pengumuman mengenai tokonya itu. Cara dia menyebarkan selebaran itu unik. Dede mengikuti truk sampah yang setiap malam berkeliling mengambil sampah dari berbagai penjuru kota.

Apa hubungan sampah dengan toko Indonesia?

Katanya, membuang sampah adalah salah satu kesempatan bagi para pekerja Indonesia ke luar rumah. Ketika itulah mereka bertemu dengan teman atau tetangga. Ada juga TKI yang memakai kesempatan membuang sampah untuk menelepon atau membeli keperluan pribadi di toko yang beroperasi 24 jam.

Cara yang ditempuh Dede itu ternyata tak keliru. Tidak memakan waktu lama, toko Indo Jaya miliknya sudah ramai dikunjungi orang Indonesia yang tinggal di Taiwan.

”Antreannya juga sama panjangnya dengan antrean di toko yang ada di Taoyuan. Begitu banyaknya orang yang membeli hingga setiap minggu saya harus memesan barang lagi dari Indonesia,” kenangnya.

Dari pengalamannya selama ini, menurut Dede, memasukkan barang ke Taiwan relatif tidak sulit. Barang dari Indonesia itu memang harus melewati jalur pemeriksaan yang ketat. Namun, Dede tidak perlu mengeluarkan uang pelicin atau biaya tambahan sepeser pun sehingga tidak membuat biaya usahanya membengkak.

Produk Indonesia yang dijual Dede sangat beragam. Mulai dari mi instan, sambal botol, camilan, sambal pecel, bumbu siap masak, kecap, kosmetik, kartu telepon murah, hingga kaset musik dan VCD atau DVD film.

Berkembang

Banyaknya pembeli ini membuat usaha Dede yang berawal dengan modal Rp 100 juta itu berjalan lancar. Dalam waktu satu tahun, ia berhasil membuka satu toko lagi. Kali ini dia berkongsi dengan seorang teman asal Indonesia. Toko keduanya itu dia buka dekat Masjid Agung Taipei.

Maka, bisa dibayangkan, dalam waktu sebentar saja toko ini pun sudah diketahui seluruh warga Indonesia yang berada di Taipei.

”Setiap hari Jumat dan Minggu ada pengajian di masjid. Jemaah yang datang ke masjid selalu mampir ke toko untuk makan atau membeli barang keperluan lain. Pembeli di sini tak hanya orang Indonesia, tetapi juga orang dari Timur Tengah dan Afrika. Mereka tahu, makanan di sini halal karena dijual untuk orang Indonesia yang sebagian besar Muslim,” kata Dede.

Sukses membuka toko itu tidak membuat Dede puas. Dia melihat peluang lain. Masih ada kebutuhan bagi TKI di Taiwan yang belum terpuaskan, yakni bisa saling berkomunikasi dan berbagi cerita.

Pada Oktober 2006 Dede menerbitkan majalah bernama Intai, khusus bagi TKI di Taiwan. Majalah ini pun langsung diterima pembaca. Banyak TKI yang berasal dari agen yang sama, akhirnya bisa saling bertemu kembali setelah membaca Intai.

Biasanya mereka tidak saling tahu, di mana teman dari agen yang sama itu ditempatkan. Lewat majalah tersebut mereka bisa berbagi pengalaman, foto, dan informasi mengenai kegiatan TKI atau warga Indonesia di Taiwan.

Majalah yang terbit satu bulan sekali ini semula hanya beroplah 1.000 eksemplar dan dibagikan gratis. Setelah 1,5 tahun berjalan, oplah Intai menjadi 7.500 eksemplar dan dijual dengan harga 40 NT (sekitar Rp 12.000) per eksemplar. Halamannya juga bertambah secara signifikan, dari semula 16 halaman menjadi 84 halaman berwarna. Padahal, Dede sebenarnya tidak punya pengalaman menerbitkan majalah. Pengalaman dia dalam dunia tulis-menulis hanyalah menjadi staf redaksi saat masih duduk di bangku SMA dan kuliah.

”Saya memang suka menulis. Novel saya berjudul Aku Terjebak di Taipei City telah terjual 2.000 kopi.”

Kesuksesan dalam bisnis toko produk Indonesia dan penerbitan ini, di sisi lain juga menjadi kendala buat Dede. Pria asal Surabaya ini mengaku sampai sekarang dia selalu rindu pulang ke kampung halamannya di Kepanjen, Surabaya, Jawa Timur.

Dulu, sebelum usahanya besar, dia pasti pulang ke Indonesia setiap dua bulan sekali. Sekarang dia tidak bisa lagi sering pulang karena harus mengurus usaha dan majalah Intai pun harus terbit teratur. Kemungkinan pulang pun semakin kecil sejak istrinya, Evy Susanty (24), hamil.

”Setiap kali pulang ke Surabaya, saya merasa seperti disegarkan kembali. Saya memang merasa terjebak di Taipei City he-he-he,” kata Dede mengutip judul novelnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar