Tidak heran kemudian menjelang keberangkatan saya ke Singapura beberapa waktu lalu beberapa kawan berpesan agar saya tidak melewatkan musim belanja di sana. Beberapa kawan berseloroh minta dibawakan sekarung kemeja. Ah, populer nian hajatan belanja yang diselenggarakan negeri jiran kita.
Singapura memang dikenal sebagai surga belanja. Puluhan pusat perbelanjaan yang berjejer satu sama lain di sepanjang Orchard Road dan sekitarnya tidak pernah sepi pengunjung. Soal belanja di Singapura sampai-sampai ada ungkapan dalam Singlish (Singapore English), “Everything you see must buy lah…”
Rasanya sulit membayangkan jika eksistensi mal-mal di sana bisa bertahan hanya dengan mengandalkan jumlah penduduk Singapura yang jumlahnya hanya sekitar 4 juta orang. Itulah Singapura, jumlah wisatawan yang datang ke sana lebih dari dua kali lipat jumlah penduduk aslinya.
Menurut data Singapore Tourism Board (STB) sepanjang 2007, sektor pariwisata mampu membukukan pemasukan 13,8 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp 82,8 triliun. Ini memecahkan rekor pendapatan negara dari sektor pariwisata. Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang ke Singapura tahun 2007 mencapai 10,3 juta orang, meningkat 5,4 persen dari jumlah wisman tahun 2006. Nah, wisman asal Indonesia adalah yang terbesar dengan jumlah 1.956.00 orang. Posisi kedua sampai kelima berturut-turut diduduki China, Australia, India, dan Malaysia.
Singapura memang jeli mengemas aktivitas shopping di negara yang luasnya kurang lebih sama dengan Jakarta itu. Bagi masyarakat modern urusan wisata atau liburan memang tidak lagi hanya dihabiskan di tempat-tempat wisata alam. Saat ini pusat perbelanjaan pun menjadi tempat liburan alternatif. Selama belasan tahun kawasan mal di Singapura menjadi tempat wisata bagi pelancong mancanegara. Karena itulah STB mengemas aktivitas belanja ini secara khusus.
Aura GSS memang sudah terasa bahkan ketika saya masih di tanah air. Beberapa media ibu kota memuat iklan besar-besar tentang acara ini. Di bandara Changi, Singapura, selepas pemeriksaan imigrasi Anda pasti akan menemukan sebuah outlet kecil menempel pada dinding yang bertahun-tahun ada di sana. Di situ Anda bisa mengambil secara cuma-cuma berbagai macam brosur panduan mengunjungi Singapura. Di antara berbagai macam brosur itu tentu saja ada brosur khusus yang menerangkan tentang GSS.
Di dalam kamar hotel, diantara tumpukan buku menu yang tergeletak di atas meja, terselip pula sebuah majalah yang isinya mengupas habis aneka program GSS. Di dalamnya terpapar berbagai macam informasi potongan diskon yang digelar restoran anu, toko itu, bahkan aneka produk fesyen hingga elektronik berharga khusus terpajang di situ. Wah, komplet deh. Saya seperti ditodong untuk tidak melupakan aktivitas belanja selama berada di negeri ini.
Begitulah, menjelang tengah malam, usai menyelesaikan rangkaian aktivitas kantor, bersama beberapa teman saya mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Little India. Mustafa Center namanya. Tidak jauh, sekitar 10 menit perjalanan dengan taksi dari hotel tempat saya menginap di kawasan Marina.
Anda yang kerap mengunjungi Singapura pasti mafhum, pusat perbelanjaan ini adalah tempat yang wajib dikunjungi para pelancong selain Orchard Road. Mustafa Center adalah satu-satunya pusat perbelanjaan di Singapura yang buka 24 jam. Berada di dalam toko kita tidak merasa bahwa ini hampir tengah malam. Toko penuh orang lalulalang berbelanja. Orang Indonesia yang mudah dikenali karena percakapan mereka banyak dijumpai di berbagai sudut toko ini.
KOMPAS.COM/HERU MARGIANTO
Mustafa Center di Kawasan Little India, buka 24 jam.
Murah? Eits, jangan keburu tergoda. Jika Anda mengharapkan belanja di sini lebih murah dibanding Indonesia, sebaiknya bayangan itu harus buru-buru dihapus. Dibanding barang-barang bermerek di mal-mal mewah Orchard Road, tentu saja barang-barang di sini lebih murah.
Di Mustafa, sebuah payung kecil bermotif “batik” ala seragam yang dikenakan pramugari Singapore Airlines dijual seharga 10 dolar singapura (sekitar Rp 67 ribu). Baru beberapa minggu lalu saya membeli sebuah payung yang sama kecilnya di Matahari seharga Rp 30 ribu. Berbagai macam kaos bertulis Singapore yang biasa dibeli para pelancong sebagai oleh-oleh untuk kerabat mereka harganya beragam, mulai dari 9 hingga 16 dolar Singapura (sekitar Rp 60 hingga 100 ribu). Ah, soal kaos ini saya teringat Dagadu Yogya yang harganya juga tidak jauh di kisaran itu. Di ITC Jakarta kaos seharga itu bertebaran di mana-mana. Di Ramayana malah ada yang lebih murah, Rp 19 ribu per potong.
Lewat tengah malam kami kembali ke Hotel. Di dalam taksi saya terbayang gedung-gedung ITC di Indonesia. Rasanya, apa yang saya lihat di Mustafa Center ada juga di tanah air. Yang tidak ada tentu saja kaos-kaos dan pernak-pernik bertuliskan Singapore dan bergambar kepala Singa.
***
KOMPAS.COM/HERU MARGIANTO
Suasana Orchard Road di Musim Great Singapore Sale 2008.
Kaos-kaos merk Mango didiskon 50 persen. Harganya jadi sekitar Rp 100an ribu. Kaos polo Bosini juga potong harga jadi 20 dolar Singapura. Kalau dikurs dengan hitungan 1 dolar Singapura sama dengan Rp 6.700 maka kaos Bosini itu harganya Rp 134 ribu. Hmm...pikir saya, bukankah kita juga bisa menemukan barang dengan harga yang kurang lebih sama di Jakarta Great Sale yang digelar satu bulan penuh dalam rangka Ulang Tahun Jakarta? Kristian, teman saya, urung membeli sepatu yang ditaksirnya. Karena, jika dirupiahkan harga sepatu itu sekitar Rp 900an ribu. “Kemarin aku liat di Jakarta juga sekitar segitu sih,” katanya.
Saya teringat majalah panduan belanja yang tergeletak di atas meja di kamar hotel saya. Di dalamnya ada promo kamera digital Fuji seri F5ZD dibandrol diskon 50 persen jadi 199 dolar Singapura (sekitar Rp 1,3 juta) dari harga semula 399 dolar Singapura (sekitar Rp 2,6 juta). Iseng-iseng saya membandingkannya dengan harga di negeri sendiri. Alamak, di salah satu situs toko online Indonesia, kamera itu harganya hanya Rp 1,4 juta, tanpa embel-embel diskon.
Tapi toh ada yang bahagia juga mendapatkan harga lebih murah. Riyana, teman saya yang lain, sumringah menenteng dua kantong plastik. Satu berisi dua pasang sepatu merk Novo dan Aldo, satu lagi tiga buah tas merk Mango
“Ini murah banget,” katanya sambil menunjukkan dua kantong plastik belanjannya. “Tas Mango di Jakarta harganya Rp 400an ribu. Ini aku dapet 25 dolar aja (Rp 167.500). Makanya aku borong tiga…hehehe…”
Riyana sangat paham harga. Matanya berbinar. “Ini sepatu Novo, di Jakarta Rp 200an ribu lah. Di sini aku dapet 10 dolar saja (sekitar Rp 67 ribu). Kalo satunya lagi sepatu Aldo 40 dolar saja (Rp 268 ribu). Di Jakarta kan bisa Rp 500an ribu gitu loh.”
Memasuki mal-mal di Orchard Road sampai kaki gempor saya seperti melihat wajah mal-mal di Jakarta. Saya seperti berada di Senayan City, Plaza Senayan, Plaza Indonesia, Pacific Place. Tampilan poster potongan harganyapun persis, tulisan berwarna merah dengan latar belakang putih, atau sebaliknya. Orchard Road seperti Jakarta dalam dimensi yang lain.
Letih keluar masuk mal, saya berisitirahat di sebuah taman kecil di jalur pedestrian yang teduh. Nah, yang satu ini memang tidak bisa didapatkan di Jakarta. Kalau bicara tempat belanja, mal-mal di Jakarta tak kalah dengan mal-mal di Singapura, baik desain interior maupun barang-barang yang dijajakan. Tapi, Jakarta tidak punya trotoar lebar bebas polusi yang memanjakan pejalan kaki. Tidak ada taman-taman kecil dengan bangku tempat kita beristirahat kala capek.
Di taman itu saya berjumpa dengan Lily, ibu dua anak asal Surabaya yang tengah berlibur bersama keluarganya. Seorang anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar merengek minta dibelikan mainan Spiderman yang bisa menempel di dinding. Tiga orang pedagang pinggir jalan di dekat taman itu berteriak-teriak menawarkan mainan Spiderman berukuran 10 sentimeter.
“Kalau harganya satu dolar ibu beliin. Masak mainan kayak gitu aja harganya empat dolar. Di Pratama Rp 1000 dapet tiga,” ujar Lily ketus sambil menyebut satu pusat keramaian di Surabaya.
“Heran, orang Indonesia kok banyak yang gila belanja di sini. Wong barang-barangnya aja mahal selangit. Wis toh, gak ono sing murah neng kene, luwih murah Indonesia. Wani dicekik leherku. (Sudahlah, tidak ada yang murah di sini, lebih murah di Indonesia. Berani dicekik leherku),” Lily menjawab sengit ketika saya bertanya apakah dia ikut borong-memborong di Great Singapore Sale 2008.
“Everything you want to buy ke Indonesia ajalah,” sambung Lily. Aha, dia sudah pandai bicara Singlish.
Heru Margianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar