PEPIH NUGRAHA
Dalam buku tamu di blog miliknya, Eko Ramaditya Adikara menyebut dirinya sebagai The Indonesian Blind Blogger. Rama, demikianlah ia biasa dipanggil, memang seorang tunanetra. Namun, jika bertemu Rama jangan sekali-kali mengasihaninya sebagai orang berkekurangan. Salah-salah kita yang dikasihani karena terlalu banyak kekurangan!
Contoh saat dia mempraktikkan bagaimana menulis artikel di atas papan ketik komputer pribadi yang diperuntukkan bagi orang normal (bukan papan ketik Braille), Rama mampu menulis 60 kata per menit. Kemampuan itu setara dengan pengetik profesional mana pun yang biasa bekerja di atas papan ketik QWERTY. Rama bahkan tidak membuat kesalahan satu huruf pun atas apa yang ia tulis secepat angin berlalu itu.
Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang tunanetra sejak lahir mampu melakukan pekerjaan yang galibnya dilakukan orang normal? Bagaimana mungkin dia menjadi blogger yang bukan hanya sekadar mengisi kontennya, tetapi juga mendesain perwajahannya, bahkan dengan latar belakang musik digital gubahannya? Bagaimana dia bisa bekerja di atas laptop yang selalu dibawa ke mana pun ia pergi? Bagaimana pula Rama mengerti perintah komputer yang jumlahnya tak terhitung itu? ”Saya meninggalkan huruf Braille sejak sepuluh tahun lalu saat teknologi pembaca layar (screen reader) hadir. Bagi saya itu sebuah revolusi. Sampai sekarang praktis saya tidak menggunakan Braille lagi. Saya bisa membaca buku atau menulis di komputer seperti mereka yang berpenglihatan normal,” kata Rama saat kami temui pada sebuah acara Komunitas Multiply Indonesia di Jakarta, Rabu (2/7) malam lalu.
Aplikasi pembaca layar yang digunakan Rama adalah JAWS, singkatan dari Job Access With Speech. Ini sebuah peranti lunak yang dikembangkan Blind and Low Vision Group di Freedom Scientific St Petersburg, Florida, Amerika Serikat. Dengan JAWS yang pertama kali diluncurkan 1989 itu, komputer apa pun asalkan menggunakan Microsoft Windows, dimungkinkan dioperasikan oleh mereka yang menderita cacat penglihatan. JAWS mengubah teks menjadi berbicara atau text-to-speech. Tahun 1992 JAWS lebih dikenal luas seiring meluasnya penggunaan Microsoft Windows.
Rama memiliki domain sendiri untuk blog-nya, tetapi karena juga ngeblog di Multiply, ia hadir dalam pertemuan para blogger Multiply yang dimotori Sri Sarining Diyah tersebut. Pada malam itu, Rama menjadi ”bintang” di antara blogger dengan banyaknya peserta yang ingin berfoto bersama. Rama tidak canggung berfoto. Bahkan, saat kaum perempuan berebut berfoto ia nyeletuk, ”Wah, saya kayak raja semalam saja.”
Screen reader yang disebut Rama adalah peranti lunak yang memungkinkan apa-apa yang tertulis di layar komputer atau layar ponsel bisa ”terbaca” dengan cara bersuara. Saat Rama menulis menggunakan pengolah kata Word, misalnya, mesin secara otomatis mengeluarkan suara atau mengeja apa pun yang ia tulis. Kesalahan huruf pun akan diketahui dan segera diperbaiki.
Cara yang sama dilakukan Rama saat dia membaca buku Star Wars kesukaannya. Ia pindai (scan) halaman demi halaman buku itu agar bisa dibaca di layar komputer. Otomatis komputer akan membacanya dengan mengeluarkan suara. Jangan heran jika ia mengoleksi dan sudah membaca 320 buku Star Wars. Pesan pendek (SMS) di ponselnya pun ditanam peranti lunak pembaca layar serupa untuk kebutuhan mobile, yakni TALKS. Setiap Rama membuka pesan pendeknya, suara mesin terdengar persis seperti apa yang tertulis di layar ponsel.
Percaya diri
Karena berbekal kemampuan teknologi informasi itulah Rama ke mana-mana membawa ponsel dan laptop Asus dengan layar 7 inci. Ponsel perlu untuk berkomunikasi dan mengirimkan pesan, sementara laptop diperlukan untuk menulis di blog atau menulis artikel untuk media online. Kegiatan blogging dilakukannya sejak 2003 saat blog belum booming. Untuk itulah buku tamunya sudah terisi oleh 464 netter yang memberi pesan. Sebagaimana fatsun blogger, Rama menjawab sendiri semua pesan dan komentar yang masuk.
Pemuda yang kini berusia 27 tahun sejak lahir memang sudah ditakdirkan tunanetra. Sempat berhasil ditolong dengan operasi pembuatan diafragma buatan pada mata kanan sehingga mampu melihat 10 persen, tetapi setelah itu dia buta total. Meskipun menderita cacat netra, ayahnya, Rahadi Sudarsono, tidak memperlakukannya sebagai ”orang buta”. Sang ayah memperlakukan anaknya secara wajar sebagaimana orang normal, kecuali dalam hal merekam pelajaran saat Rama duduk di bangku SLTA.
”Bapak merekam semua buku pelajaran ke dalam kaset, sementara ibu membantu dengan doa dan dukungan moril,” kata Rama sebagaimana tertulis dalam blog-nya.
Rasa percaya diri itulah yang ditumbuhkan Rahadi kepada anaknya, sementara Rama menerimanya sebagai sebuah ”tantangan” karena ternyata tunanetra pun bisa mandiri tanpa harus bergantung kepada orang normal. Itu sebabnya, di semua artikel yang ditulisnya di blog, tidak ada kata mengiba-iba dan meminta dikasihani. Sebagai gantinya, ia memberi harapan dan optimisme. Ironisnya, harapan dan optimisme itu lebih ia tujukan kepada orang berpenglihatan normal yang membaca blog-nya.
Tawarkan harapan
Kepada sesama tunanetra, ia menawarkan harapan dan mengajarkan pantang berputus asa. Misalnya, ia memberi tips yang positif bagi penyandang tunanetra. ”Bagi tunanetra bisa naik pesawat terbang itu suatu keistimewaan, maka saya pun menulis tips bagaimana naik pesawat bagi tunanetra,” katanya.
”Saya ini (tunanetra) sudah beda (dengan orang normal), tetapi saya ingin berbeda dari perbedaan itu,” kata Rama mengenai filosofi hidupnya. Saat diminta menjelaskan lebih dalam makna hidupnya itu, ia mengatakan, ”Saya ingin berbeda dari rekan-rekan sesama tunanetra.”
Kalau sekadar prinsip itu, sebenarnya Rama memang beda dan bahkan istimewa dibanding tunanetra lainnya, setidaknya dalam urusan teknologi informasi. Bayangkan saja, selain menguasai berbagai program peranti lunak, dari yang paling ”jadul” seperti DOS (Disc Operation System), WordStar, sampai Windows Vista yang terbaru, ia juga mampu mengutak-atik perangkat keras komputer. ”Saya pernah merakit komputer. Memang pakai kesetrum dan ’ledakan’ segala, tetapi alhamdulillah berhasil,” kenangnya sambil terkekeh.
Rama mulai mengenal ”komputer” saat berusia lima tahun, yakni ketika Game Atari mulai muncul dan kebetulan dimiliki salah seorang tetangganya. Tahun 1996, seorang mahasiswi bernama Silvi mengajarinya mengetik 10 jari karena terkesan dengan tekad Rama yang mati-matian belajar menulis di WordStar.
Perjalanan hidup Rama dalam urusan ilmu komputer pun berubah ketika JAWS lahir dengan pembaca layarnya. Ibarat menemukan tongkat ajaib yang telah lama hilang, perjalanan Rama di bidang teknologi informasi seperti tidak terbendung. Ia kini ”mampu melihat” dan belajar tentang apa pun sesuka dia.
Dia membaca hampir semua buku best seller dan mengaku apa yang sudah dibacanya seperti menempel terus di ingatannya. Pengalaman interaksinya dengan buku dan teman-teman ia tuangkan dalam catatan harian di blog-nya.
”Bagi saya, blog sudah menjadi kehidupan kedua,” kata Rama yang pada Agustus mendatang menerbitkan dua buku dari hasil ngeblog-nya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar